Indonesia perlu terus meningkatkan kemampuan tangguh bencana (disaster resilience) agar mampu mengurangi risiko bencana hingga seminimal mungkin.
Demikian rangkuman pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Minggu 27 Agustus 2023 lalu. Berbicara di Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Raditya Jati, Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang sistem dan strategi penanggulangan bencana di tanah air pasca tsunami Aceh 2004 lalu.
Seperti diketahui, pada 26 Desember 2004, tsunami yang dipicu gempa sesar aktif di dasar laut Pantai Barat Sumatera, berkekuatan 9,1 Skala Richter, menerjang wilayah daratan Aceh dan dampaknya merambah hingga Thailand, Bangladesh, bahkan sampai Madagaskar di Afrika Timur. Diperkirakan, bencana tsunami ini menelan korban 230.000 jiwa.
Menurut Radita Jati, sejak Tsunami Aceh, telah banyak upaya dilaksanakan Pemerintah dan masyarakat untuk memitigasi dan mempersiapkan diri bila bencana sebesar itu kembali muncul.
Dia menjelaskan berbagai langkah guna mengurangi dampak bencana, diawali dengan penyediaan data yang akurat dan berlanjut menggunakan teknologi informasi, seperti data digital geospasial, data risiko yang dikenal sebagai INARISK, Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) serta beragam data peringatan dini lainnya.
Diharapkan melalui berbagai penyediaan data yang sahih ini maka pengelolaan risiko bencana dari tahap perencanaan, mitigasi, hingga tanggap darurat, kemudian pemulihan dan rekonstruksi dapat dilaksanakan secara cepat, efisien dan berlanjut.
Raditya juga membahas tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020 – 2044 yang akan dipakai sebagai pedoman pengurangan risiko bencana di Indonesia menyongsong peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka, tahun 2045 mendatang.
Memang, dari sudut perencanaan jangka menengah dan jangka panjang, upaya mengurangi bencana telah disusun secara rapi. Namun muncul dalam diskusi tentang kesenjangan RIPB ini antara pusat dan daerah.
Kesenjangan ini perlu dihilangkan mengingat ujung tombak penanggulangan bencana berada di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.
Dalam diskusi yang dipandu Profesor Jan Sopaheluwakan dan Dr. Idwan Soehardi, beberapa peserta pertemuan menggaris bawahi tentang kesenjangan dari aspek perencanaan ke aspek implementasi di lapangan.
Juga dicermati berkaitan dengan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Koordinasi Lintas Kementerian/Lembaga di Pusat sendiri.
Ketua CTIS, Dr. Wendy Aritenang mengingatkan bahwa terkadang kewenangan sektor tentang suatu permasalahan dialihkan ke institusi khusus seperti BNPB ini, namun tidak didukung oleh sarana, prasarana serta dana yang memadai. Ini bisa mengakibatkan kewenangan sektor tadi tidak berfungsi, di lain pihak lembaga yang ditugasi untuk menangani permasalahan tadi juga tidak bisa berfungsi.
Khusus berkaitan dengan upaya mengurangi resiko bencana tadi, perlu dilaksanakan arahan Presiden Joko Widodo, yaitu agar tata ruang dan perizinan pembangunan harus berbasis mitigasi bencana. Presiden juga menginstruksikan agar dilakukan identifikasi resiko bencana di daerah masing masing. Serta tidak lupa, perlu disediakan anggaran yang memadai.
Wendy juga mengusulkan kiranya berbagai perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga, perlu mendapat masukan dari BNPB berkaitan dengan resiko kebencanaan, agar upaya mitigasi dapat diantisipasi sejak awal.
Sedang Dr. Idwan Soehardi mengingatkan pentingnya dibangun kembali Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang sudah beroperasi sejak 20 tahun terakhir namun saat ini terhenti. Peran detektor INA-TEWS yang terakhir adalah berhasil memantau tsunami di Laut Banda pada Maret 2022 lalu.
- Cara Lama Pengelolaan Sumber Daya Alam Ganggu Ekosistem, Solusi Berbasis Keilmuan Diperlukan
- Climate Outlook 2023, Potensi El Nino Rendah tapi Peluang Bencana Karhutla tetap Ada
Idwan juga menyarankan agar Tsunami Early Warning System Disaster Mitigation Research Center di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh agar tetap berfungsi untuk terus meningkatkan kemampuan Nasional dalam Deteksi Tsunami.
Dalam waktu dekat, BNPB dan CTIS akan menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang teknologi kebencanaan, guna mendapatkan beragam teknologi kebencanaan yang telah dimiliki Indonesia, seperti Rumah Tahan Gempa, Satelit SATRIA-1 untuk jaringan internet, sistem pemantauan gunung api dan teknologi kecerdasan artifisial untuk kebencanaan. ***