Pemerintah memastikan akan terus memfasilitasi pengembangan bisnis baru kehutanan yang tidak lagi sekadar fokus pada pemanfaatan kayu.
Pelaku usaha kehutanan diingatkan agar pengembangan bisnis yang dilakukan tetap menjaga kedaulatan dan marwah bangsa Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan, dengan adanya Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pelaku usaha kehutanan bisa menerapkan multiusaha kehutanan.
“Diversifikasi usaha sekor kehutanan ini mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu,” kata Siti Nurbaya saat memuka Rapat Kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) secara daring, Rabu 27 Oktober 2021.
Model bisnis yang bisa dikembangkan termasuk pemanfaatan jasa lingkungan dari penyerapan dan penyimpanan karbon yang merupakan agenda global pengendalian perubahan iklim.
Menteri Siti menyatakan pengembangan bisnis yang terkait agenda global perubahan iklim harus tetap menjaga kedaulatan dan marwah bangsa Indonesia.
Menteri menekankan agar upaya peningkatan produktivitas yang dilakukan adalah untuk tujuan bersama Indonesia sebagai sebuah bangsa dan Negara, bukan untuk entitas bisnis itu sendiri.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menjelaskan bisnis sektor kehutanan mengalami rebound pada tahun 2021 setelah terpuruk pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.
Pada September 2021, ekspor produk hasil hutan kayu Indonesia tercatat sebesar 10,4 miliar dolar AS. Catatan tersebut naik sebesar 28,8% jika dibandingkan catatan periode yang sama tahun 2021 yang sebesar 8,1 miliar dolar AS.
“Kenaikan sebesar 28,8% ini merupakan yang tertinggi di tengah pemulihan kinerja sektor kehutanan,” katanya.
Tren pemulihan kinerja sektor kehutanan ini akan dipertahankan dengan menerapkan quick wins implementasi Undang-undang Cipta Kerja dan turunannya.
Diantaranya dengan menyamakan izin usaha menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan pengembangan multiusaha kehutanan.
“Ada 11 PBPH yang kini didorong sebagai role models implementasi multiusaha kehutanan,” katanya.
Indroyono juga menyatakan dengan mengimplementasikan multi usaha kehutanan, angota APHI siap mendukung tercapainya target Indonesia untuk Net Sink FoLU (Forest and Others Land Use) di tahun 2030.
Net Sink FoLU berarti kondisi penyerapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan sudah seimbang atau bahkan lebih tinggi ketimbang pelepasan.
Net Sink FoLU menjadi salah satu bentuk nyata kuatnya ambisi Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim.
Indroyono menyatakan, selain implementasi multiusaha kehutanan, untuk mendukung aksi pengendalian perubahan iklim perlu djuga aktualisasi nilai ekonomi karbon.
“Carbon pricing untuk mendukung Netsink FoLU 2030,” katanya.
Sementara itu Presiden Komisaris Standard Chartered Bank Indonesia Rino Donoseputro menyatakan pelaku usaha kehutanan dalam menjalankan usahanya bisa melirik pembiayaan komersial dari perbankan dalam kerangka pengendalian perubahan iklim.
“Secara global, pembiayaan sektor swasta terkait perubahan iklim sepanjang 2015-2019 mencapai 13,3 miliar dolar AS,” kata dia
Sebesar 67% dari dana tersebut berasal dari institusi keuangan seperti perbankan. Dana tersebut, hanya 2% dari total aset perbankan komersial.
Rino juga mengungkapkan sektor kehutanan secara umum masih tertinggal dalam pemanfaatan pembiayaan terkait pengendalian perubahan iklim yang bersuber dari penerbitan surat utang (bond).
Rino menyatakan penerapan multiusaha kehutanan akan membuat sektor kehutanan makin menarik bagi perbankan. “Adanya komitmen Net Zero Sink karena akan berdampak bagi perbankan yang melakukan pembiayaan,” katanya.
Rino juga menyatakan pasar karbon akan semakin menarik ke depan seiring dengan kuatnya komitmen sektor industri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. ***