Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) bekerja sama untuk mendorong implementasi sertifikasi pengelolaan hutan voluntary dengan skema PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification).
Kerja sama ini diharapkan memperkuat penetrasi pasar produk kayu Indonesia di tengah permintaan pasar yang semakin menuntut produk ramah lingkungan.
Implementasi sertifikasi PEFC diharapkan bisa semakin memperkuat keberterimaan produk kayu Indonesia yang telah memiliki sertifikat mandatory SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian) di pasar global.
Nota kesepahaman antara APHI-IFCC ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Ketua IFCC Saniah Widuri dengan di saksikan oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto, di Jakarta, Rabu, 14 September 2022.
Agus mengatakan pemerintah tidak akan menghambat skema voluntary sepanjang sejalan dan memberikan dampak positif pada SVLK.
“Dengan adanya nota kesepahaman ini diharapkan ke depan audit dapat dilakukan secara gabungan serta membantu mempromosikan SVLK ke pasar internasional,” kata dia.
Sebagai skema sertifikasi voluntary, SVLK dikembangkan sejak tahun 2003 secara akuntabel dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
SVLK juga juga telah mendapat pengakuan dari berbagai Negara dan hingga saat ini menjadi satu-satunya sekma sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh Uni Eropa.
Meski demikian, ada konsumen yang meminta produk kayu yang dibeli dilengkapi dengan sertifikat voluntary. Ini menjadi beban biaya bagi unit manajemen pengelolaan hutan yang akan disertifikasi.
Beban itu dikurangi jika dilakukan audit gabungan skema mandatory dan voluntary sesuai dengan ISO 19011:2018.
Agus berpesan dalam prosesnya agar lembaga penilai yang akan melakukan audit mengikuti proses akreditasi yang dilakukan di Indonesia bekerja sama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Agus juga mengingatkan agar dalam proses audit tidak membuat standar baru.
“Skema voluntary wajib mempersyaratakan SVLK sebagai salah satu komponen audit. Logo SVLK juga wajib dicantumkan pada dokumen angkutan, sertifikat, produk, dan kemasan,” katanya.
Ketua Umum APHI Indryono Soesilo menegaskan komitmen pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari yang dibuktikan dengan sertifikasi.
“Yang penting biaya (sertifikasi)-nya murah,” kata dia.
Indroyono mengatakan dengan adanya sertifikasi diharapkan bisa mendukung peningkatan ekspor produk kayu Indonesia. Tahun ini, hingga Agustus, ekspor produk kayu Indonesia sudah mencapai 9,75 miliar dolar naik sebesar 14,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 8,55 miliar dolar.
“Jika tren-nya terus berlangsung, maka nilai ekspor mungkin bisa 14,5 miliar dolar AS sampai akhir tahun nanti melebihi catatan tahun lalu yang sebesar 13,57 miliar dolar AS. Ini rekor tertinggi,” katanya.
Sementara itu Ketua IFCC Saniah Widuri mengatakan hingga saat ini telah ada 4,1 juta hektare hutan di Indonesia yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari PEFC. Selain itu ada juga 47 industri yang memperoleh sertifikat Chain of Custody PEFC. Sementara jumlah anggota sebanyak 49 anggota.
“IFCC di-endorsed oleh PEFC sejak tahun 2014 dan terus mendorong unit-unit manajemen hutan di Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” kata Saniah.
Dia mengatakan, PEFC merupakan skema sertifikasi terbesar di dunia dengan total luas areal hutan tersertifikasi mencapai 325 juta hektare.
Saniah juga mengatakan PEFC telah menjadi standar untuk pengadaan produk kayu di sejumlah Negara seperti Uni Eropa, Australia, maupun Jepang. Selain itu sejumlah industri konsumen juga menjadikan PEFC sebagai standar. ***