Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo menggugah peneliti Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) untuk melakukan riset dan inovasi terkait pencapaian target Indonesia menuju Net Zero Emission pada tahun 2060.
Indroyono yang pernah menjadi peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), lembaga yang kini sudah melebur dalam BRIN mengatakan pencapaian target Net Zero Emission Indonesia menjadi bagian penting dalam upaya global untuk pengendalian perubahan iklim.
“Hasil kajian para pakar Dunia, jika perubahan iklim terjadi, 2.000 pulau di Indonesia akan hilang karena naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan,” kata Indroyono saat diskusi yang diselenggarakan Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup BRIN, Rabu 6 April 2022.
Sebagai komitmen dalam pengendalian perubahan iklim, Indonesia sudah meratifikasi Persetujuan Paris lewat Undang-undang No 16 tahun 2016.
Indonesia kemudian mendaftarkan dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) dalam pengendalian perubahan iklim. Dokumen NDC Indonesia yang diperbarui juga sudah didaftarkan ke sekretariat UNFCCC, Badan PBB yang mengurus perubahan iklim, pada tahun 2021.
Berdasarkan dokumen tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 mendatang dibandingkan business as usual.
Indonesia juga sudah mendaftarkan dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tahun 2050.
Berdasarkan dokumen ini, puncak emisi GRK Indonesia dirancang terjadi pada tahun 2030 sebanyak 1.244 juta ton setara CO2 untuk kemudian turun menjadi 540 juta ton setara Co2 pada tahun 2050.
Net Zero Emission dimana emisi GRK Indonesia lebih rendah dibandingkan yang bisa diserap ditargetkan untuk dicapai pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Indroyono mengungkapkan, sektor kehutanan berkontribusi besar untuk mencapai target pada dokumen tersebut.
“Sektor Forest and other Land Uses (FOLU) ditargetkan mencapai net sink dengan penyerapan GRK sebesar 140 juta ton setara CO2 dan kemudian meningkat menjadi 304 juta ton setara CO2 pada tahun 2050,” katanya.
Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan biaya yang mencapai Rp204 triliun dimana 55%-nya berasal dari sektor swasta.
Indroyono menyatakan, APHI dengan 567 perusahaan anggota pihaknya siap mendukung tercapainya target tersebut dengan menerapkan multi usaha kehutanan.
“Jadi pemanfaatan hutan tidak hanya kayu tapi juga kegiatan-kegiatan usaha yang bisa mencegah emisi dan menyerap GRK,” katanya.
Kegiatan tersebut misalnya implementasi silvikultur intensif, pembalakan rendah dampak (reduced impact logging), pengkayaan hutan, pengelolaan gambut dan, agroforestry tanaman pangan.
Indroyono melanjutkan , pihak swasta yang terlibat dalam aksi mitigasi perubahan iklim bisa mendapat insentif melalui kebijakan carbon pricing yang telah ditetapkan pemerintah.
“Pada pengelolaan hutan capaian pengurangan emisi dan penyerapan GRK bisa mendapat insentif melalui perdagangan karbon,” kata Indroyono.
Terkait hal itu, Indroyono pun berharap peneliti BRIN bisa memberikan dukungan dengan berbagai riset dan inovasi. “Misalnya dengan membuat standar emisi karbon untuk sektor energi, limbah, industri, dan pertanian,” katanya.
Peneliti BRIN juga diharapkan dukungannya dalam riset dan inovasi terkait teknologi rendah karbon seperti pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan seperti misalnya yang berbasis biomassa hutan.
“Kajian tentang carbon market dan carbon pricing juga diperlukan agar pihak swasta tetap bisa mendukung tercapainya LTS-LCCR tapi juga tetap mendapat insentif dari aksi mitigasi perubahan iklim,” kata Indroyono. ***