Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menggandeng Fairventure Social Forestry (FSF) untuk mengembangkan hutan tanaman berbasis perhutanan sosial.
Kerja sama ini juga diharapkan bisa mendukung pencapaian komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Penandatangan nota kesepahaman (MoU) kerja sama antara APHI dan FSF dilakukan secara virtual, Jumat 27 Mei 2022.
MoU ditandatangani oleh Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dan Direktur FSF Hernica Rasan.
Hadir dalam penandatangan tersebut CEO FSF Robert Burmann dan Sekretaris Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) Tjipta Purwita.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Umum Indonesian Light Wood Asociation (ILWA) Setyo Wisnu Broto.
Dalam kerja sama tersebut nantinya FSF yang punya kantor pusat di Jerman akan bekerja sama untuk mengembangkan hutan tanaman berbasis perhutanan sosial di areal perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) anggota APHI.
Kayu yang diproduksi akan diserap oleh anggota ILWA sebagai off taker.
Indroyono mengatakan kerja sama ini dilakukan sebagai kontribusi APHI dalam mendukung pembukaan lapangan kerja di sektor kehutanan sesuai Undang-undang Cipta Kerja.
Salah satunya melalui multi usaha kehutanan dimana pemanfaatan hutan tidak hanya untuk kegiatan pemanfaatan kayu hutan alam tapi juga hutan tanaman dan jasa lingkungan lainnya.
“Kolaborasi ini menjadi isu yang menarik dan diharapkan memicu semua pihak untuk terlibat,” katanya.
Indroyono melanjutkan, tujuan kedua dari kerja sama ini adalah membuat areal percontohan yang bisa dijadikan rujukan di masa yang akan datang bagaimana pengelolaan hutan tanaman berbasis perhutanan sosial.
Tujuan ketiga dari kerja sama yang dijalin adalah terkait dengan komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Menurut Indroyono, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebanyak 29% dengan upaya sendiri atau mencapai 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 mendatang.
Indroyono juga menyebut soal komitmen untuk mendukung pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Komitmen itu berarti penyerapan GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and other land use/FOLU) sudah seimbang atau bahkan lebih banyak dibandingkan emisinya.
Indroyono berharap kerja sama yang terjalin bisa diperluas di masa yang akan datang tidak hanya pada skala Business to Business (B to B) tapi juga antar pemerintah Indonesia dengan Jerman, negara tempat kantor FSF berpusat.
Robet Burmann mengatakan kerja sama dengan APHI adalah kesempatan besar bagi semua pihak untuk mengembangkan pengelolaan hutan lestari yang melibatkan masyarakat setempat.
“Ini kesempatan bagi kita semua untuk pengembangan bisnis sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat,” katanya.
FSF sudah menjalankan skema pengembangan hutan tanaman yang melibatkan masyarakat di Kalimantan Tengah.
Di bawah payung kerja sama dengan APHI, lokasi pengembangan hutan tanaman akan diarahkan di Lampung, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Jambi.
“Kami megembangkan skema yang peduli pada perubahan iklim, peningkatan taraf hidup, perlindungan keanekaragaman hayati yang di dalamnya termasuk mensejahterakan masyarakat dan industri pengolahannya,” tambah Direktur FSF Hernica Rasan.
Sementara itu Setyo Wisnu Broto berharap lewat kerja sama yang dijalin ini maka kinerja ekspor kayu ringan bisa terus positif.
“Dengan kerja sama ini akan menyelesaikan persoalan dari hulu ke hilir. Siapa yang bisa menguasai supply chain maka dia yang akan menguasai pasar,” katanya.
Setyo Wisnu mengungkapkan dalam setahun setidaknya 15 juta meter kubik kayu ringan Indonesia dari spesies jabon dan sengon sudah dipasarkan ke luar negeri.
Dia berharap, kerja sama yang dijalin bisa memperkuat market penetrasi pasar melalui maksimalisasi market intelligence sehingga industri di tanah air bisa lebih responsif sesuai dengan kebutuhan pasar. ***