Sistem Verifikasi Legalitas dan Kayu (SVLK) yang merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung produk kayu legal dan lestari telah bertransformasi menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian.
Untuk mengantisipasi perubahan dan untuk menjamin konsistensi dan kompetensi penerapan sertifikasi SVLK yang dilakukan oleh Lembaga Penilai, perlu dilakukan suatu koordinasi dari seluruh stake holder yang terlibat, baik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku pemilik skema, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Lembaga Penilai dan pelaku usaha selaku penerap dari SVLK.
Hal ini diungkapkan Sekjen KAN Donny Purnomo saat membuka Seminar “Akreditasi Dan Sertifikasi Mendukung Kebijakan Pemerintah Untuk Legalitas Dan Kelestarian Sektor Kehutanan” yang diselenggarakan di Palembang, 27 Oktober 2022.
Seminar yang diselenggarakan BSN, KAN dan berkolaborasi dengan Pemprov Sumsel bertujuan untuk memberikan informasi dan sosialisasi terkait dengan Akreditasi dan Sertifikasi Mendukung Kebijakan Pemerintah untuk Legalitas dan Kelestarian Sektor Kehutanan.
Menurut Donny, ke depan untuk mendukung regulasi yang ada serta membuat simplikasi terhadap sistem yang sudah berlangsung, maka akreditasi yang dilakukan KAN terhadap Lembaga Penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) dan Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) akan berubah dan menjadi satu menjadi Lembaga Penilai Verifikasi Independen (LPVI).
“Penyatuan ini akan sangat menguntungkan bagi LPVI karena selain akan menghemat biaya akreditasi juga akan membuat pelaksanaan asesmen dapat dilakukan secara bersamaan,” ujar dia.
Ketua Komite Pengembangan Organisasi, SDM dan Penguatan Wilayah APHI, Tjipta Purwita yang menjadi salah satu narasumber pada seminar tersebut mengatakan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia.
“SVLK diterapkan untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri,” ungkap dia.
Implementasi SVLK memberikan Image positif terhadap pengelolaan hutan yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.
Selain itu juga menguatkan kepatuhan Unit Manajemen (UM) terhadap ketentuan regulasi Pemerintah. Kompetensi SDM makin kuat dan kinerja perusahaan makin baik dengan penguatan pemahaman SDM UM terhadap perkembangan isu sosial dan lingkungan (konservasi biodiversity, ketenagakerjaan, FPIC, CITES, dll).
Menurut Tjipta, peningkatan kinerja pengelolaan hutan tersebut, sudah selayaknya diberikan insentif salah satunya perluasan pasar yang diimbangi dengan peningkatan manfaat finansial.
“Paling nggak, ada peningkatan harga jualnya,” ungkap dia.
Perjuangan kita untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan pasar yang lebih luas terhadap SVLK perlu berkolaborasi dengan negara-negara penghasil kayu tropis lainnya.
Dalam penyataan bersama Koalisi Negara-negara Penghasil Kayu Tropis sebagai hasil Forum kebijakan “broader market recognition” merupakan salah satu upaya mewujudkan perluasan dan insentif pasar produk kayu olahan.
“Tinggal bagaimana kita ikut mendukung dan mengawal implementasinya,” pungkas Tjipta.
Seminar tersebut diikuti kurang lebih 50 peserta dari lembaga Penilai Verifikasi Independen (LPVI), pelaku usaha/ penerap SVLK, Asosiasi, Kementerian LHK, komunitas/anggota forum sertifikasi dengan narasumber dari Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Kementerian LHK, Ketua Forum Lembaga Penilaian dan Verifikasi Independen (LPVI), Direktur Sistem dan Harmonisasi Akreditasi, BSN dan dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). ***