Sesuai Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim, Indonesia ditargetkan mencapai “Net Zero Emission” pada tahun 2060 atau lebih cepat. Ini berarti proses transisi energi dari energi fosil, seperti batubara dan migas, ke energi baru dan terbarukan (EBT) harus terus berprogress. Dari ragam EBT yang tersedia di Indonesia, ada satu EBT yang berpotensi besar namun belum dimanfaatkan, yaitu energi dari laut.
“Indonesia bisa menjadi pelopor pengguna energi dari laut, bukan pengikut”, demikian ditegaskan Professor Dwi Susanto dari University of Maryland, AS, yang juga ahli oseanografi tingkat Dunia, yang karya ilmiahnya sudah disitasi hingga lebih dari 7000 kali.
Dalam paparan di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 23 Oktober 2024, dengan topik Blue Ocean, Green Economy, Yellow Implementation, Saatnya Memanen Listrik dari Laut, Professor Dwi menegaskan bahwa umumnya di Dunia energi dari laut datang dari energi pasang-surut, namun di negara kepulauan Indonesia, selain energi pasang-surut, juga datang dari energi gelombang laut dan energi arus laut.
Sesuai fenomena Arus Lintas Indonesia (Arlindo), yang dikenal di Dunia sebagai fenomena “Indonesian Through Flow (ITF)”, air laut bergerak dari Samudera Pasifik Barat menuju Samudera Hindia melewati selat-selat yang ada di kepulauan Indonesia.
Air laut yang bergerak melewati selat-selat tadi tentu memiliki arus laut yang berkecepatan tinggi, sekaligus kekuatan arus yang besar. Inilah yang kemudian dipakai untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik. Tinggal sekarang, perlu di survey lokasi-lokasi di perairan Indonesia yang sesuai untuk penempatan turbin pembangkit listrik dari arus laut tadi.
Dwi Susanto menerangkan bahwa sebenarnya survey lokasi potensi arus laut untuk pembangkit tenaga listrik telah dilaksanakan oleh instansi di Indonesia. Ada potensi energi arus laut di 14 lokasi di Indonesia yang telah disurvey, dengan prakiraan potensi mencapai sekitar 1500 Mega Watt.
Dwi Susanto menegaskan bahwa data awal ini dapat dipakai untuk perhitungan lebih rinci dengan waktu survey yang lebih lama dan lokasi survey dikonsetrasikan lebih ke tengah laut, bukan di tepi pantai. Dari data awal yang tersedia, potensi lokasi pembangkit listrik energi arus laut ada di pantai selatan Bali, Selat Bangka, Nusa Tenggara, Kepulauan Talaud, Pulau Seram dan perairan Biak. Sedang lokasi potensi pembangkit listrik energi gelombang laut ada di Pantai Barat Sumatera, Selatan Jawa, pantai Utara Papua dan pantai Maluku Tenggara.
Potensi tadi perlu direalisasikan untuk menjadi energi kinetik yang nyata dalam bentuk pembangkit tenaga listrik dari laut. Professor Dwi mengusulkan untuk langkah pertama dapat dipilih masing-masing satu lokasi untuk uji coba pembangkit listrik energi arus laut dan pembangkit listrik energi gelombang laut.
Langkah awal yang ditempuh bisa lewat pengadaan komponennya dari luar negeri yang teknologinya telah teruji dengan memasukkan komponen dalam negeri yang telah tersedia di Indonesia.
Diprakirakan, dalam tempo maksimal 2 tahun pembangkit listrik dari laut ini sudah bisa mulai beroperasi. Sekiranya tahapan uji coba ini sukses, maka dapat dibangun lagi pembangkit pembangkit listrik dari laut dengan meningkatkan prosentase kandungan komponen dalam negerinya.
Peserta diskusi sepakat untuk mengusulkan kepada Pemerintah dilaksanakannya uji coba pembangunan pembangkit listrik energi dari laut ini. Mobilisasi sumberdaya untuk uji coba ini bisa dilaksanakan lewat program Just Energy Transition Partnership (JETP), yang disepakati saat KTT G-20 di Bali, pada November 2022 lalu. ***