Selasa, 22 Oktober 2024

NEK Dukung Penurunan Emisi GRK, Peluang Alternatif Bisnis Kehutanan

Latest

- Advertisement -spot_img

Nilai Ekonomi Karbon (NEK/carbon pricing) bisa mendukung tercapainya komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

NEK sekaligus bisa menjadi peluang bisnis yang bisa diintip oleh perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) maupun masyarakat pengelola hutan.

Demikian mengemuka pada Belantara Learning Series Episode 2: Nilai Ekonomi dan Pendugaan Karbon Hutan secara online, Rabu 16 Maret 2022.

Kegiatan tersebut merupakan kolaborasi antara Belantara Foundation, Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, dan PT Gaia Eko Daya Buana.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) I Wayan Susi Dharmawan menjelaskan saat ini telah terbit Peraturan Presiden No 98 tahun 2021 yang menjadi payung pelaksanaan NEK.

“Mereka yang bisa menjadi pelaku NEK adalah Kementerian/Lembaga, Pemda, pelaku usaha maupun masyarakat,” kata Wayan Susi.

Praktik NEK bisa berupa perdagangan karbon baik dalam bentuk perdagangan emisi atau offset emisi.

Bisa juga berupa pembayaran berbasis kinerja (result based payment), pungutan atas karbon, atau mekanisme lain yang sesuai perkembangan iptek.

Berdasarkan Perpres NEK semua aktivitas NEK harus teregistrasi pada Sistem Registri Nasional (SRN) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Ini dikarenakan NEK merupakan bagian dari pencapaian komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri atau mencapai 41% dengan dukungan internasional.

Joseph Hutabarat, Direktur PT Gaia Eko Daya Buana, perusahaan konsultan yang mendampingi sejumlah proyek karbon mengungkapkan valuasi NEK cukup menjanjikan saat ini.

“Tahun 2019 lalu harga rata-rata karbon sebesar 4,19 dolar AS per ton,”katanya.

Joseph mengungkapkan proyek pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) memiliki harga karbon yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan proyek karbon lainnya.

Joseph menuturkan jika sebuah entitas atau masyarakat ingin mengajukan proyek REDD ada beberapa tahap yang mesti dijalani.

Tahap tersebut dimulai dari pra studi kelayakan, lalu studi kelayakan, penyusunan dokumen proyek, validasi dan verifikasi, lalu registrasi dan penerbitan sertifikat pengurangan emisi GRK.

Sertifikat yang diterbitkan itulah yang kemudian bisa mendapat valuasi di pasar karbon.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna menjelaskan isu tentang karbon hutan sudah mengemuka saat konferensi perubahan iklim di Bali 15 tahun lalu.

Saat itu diluncurkan skema pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

“Seiring dengan perkembangan isu karbon bukan hanya berpotensi mendukung komitmen penurunan emisi GRK tapi juga bisnis yang potensial,” katanya.

Potensi bisnis ini tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh pengusaha yang memiliki Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari pemerintah tapi juga oleh masyarakat yang mengelola hutan berupa hutan adat, Hutan Kemasyarakatan, atau pola pengelolaan hutan lainnya.

“Untuk itu kami menggelar diskusi ini untuk membantu masyarakat memahami perkembangan regulasi, memahami konsep menghitung dan menduga karbon di dalam hutan,” kata Dolly.

Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Profesor Soewarto Hardhienata menyatakan Belantara Learning Series sangat membantu dalam peningkatan kapasitas bagi praktisi dan peneliti bidang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Menurut Soewarto, isu tentang perubahan iklim sudah lama mencuat di Negara maju seperti Jerman. Isu perubahan iklim bahkan sudah menjadi isu strategis.

Soewarto meminta agar kegiatan yang membahas tentang perubahan iklim dan karbon bisa dilakukan secara rutin.

“Ini harus menjadi kegiatan rutin untuk Prodi Manajemen Lingkungan Universitas Pakuan. Sangat bermanfaat bagi dosen maupun mahasiswa,” katanya.***

- Advertisement -spot_img

More Articles