Kementerian Kehutanan menegaskan penguatan kepastian hukum pasar karbon Indonesia melalui implementasi Perpres 110/2025, yang menjadi fondasi utama mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan.
Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki mengatakan Perpres tersebut menjadi tonggak penting yang memastikan seluruh unit karbon berbasis kehutanan—mulai dari reforestasi, restorasi mangrove hingga agroforestri—dapat diperdagangkan baik di pasar domestik maupun internasional.
Sebagai bentuk kesiapan, Kementerian Kehutanan telah menyelaraskan sejumlah regulasi utama, meliputi revisi Permen 7/2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Kehutanan, Permen 8/2021 tentang Penataan Hutan dan Perencanaan Pengelolaan Hutan, Permen 9/2021 tentang Perhutanan Sosial, serta aturan baru pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi.
“Langkah ini memastikan jalur regulasi yang jelas, terintegrasi, dan siap mendukung implementasi penuh pasar karbon nasional,” ujar Rohmat saat membuka Global Carbon Summit Indonesia 2025 di Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Pertemuan interasional tersebut diselenggarakan oleh Ecobiz Asia bersama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Turut hadir pada kesempatan itu Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Ary Sudijanto yang mewakili Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Ketua Umum APHI Dr. Soewarso.
Ia menegaskan bahwa pengembangan instrumen nilai ekonomi karbon merupakan bagian dari strategi besar Indonesia untuk menjadikan solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS) sebagai motor pertumbuhan hijau.
Selain pengurangan emisi di 48,69 juta hektare kawasan berhutan, Indonesia menyiapkan peluang pengurangan emisi melalui afforestation, reforestation, dan revegetation di sedikitnya 12 juta hektare.
Di sisi sosial, Rohmat menekankan perhutanan sosial seluas 8,3 juta hektare serta rencana pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun ke depan sebagai pilar karbon berbasis komunitas.
“Ini membuka ruang besar bagi skema karbon yang adil, inklusif, dan memberi manfaat bagi masyarakat sebagai penjaga hutan,” katanya.
Ia juga menyoroti kemitraan global yang tengah diperkuat Kemenhut, termasuk kerja sama dengan IETA dan ICVCM, untuk membangun kapasitas teknis, membuka akses pengetahuan, dan meningkatkan keterhubungan Indonesia dengan pasar karbon internasional.
Rohmat menegaskan strategi Kemenhut ke depan mencakup kejelasan aturan, adopsi standar MRV berkelas global, pemanfaatan teknologi, serta mobilisasi investasi institusi untuk proyek mitigasi berbasis alam. “Indonesia telah memasuki era baru—dari negara pemilik hutan tropis terbesar menjadi pusat pengembangan pasar karbon berintegritas tinggi,” ujarnya.
Sementara itu Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq dalam sambutan yang dibacakan oleh Ary Sudijanto menjelaskan bahwa pembiayaan menjadi tantangan paling krusial dalam menjalankan aksi iklim.
Keterbatasan kapasitas fiskal domestik serta belum optimalnya dukungan negara maju menuntut Indonesia memperluas kerja sama bilateral dan mendorong implementasi Artikel 6 Perjanjian Paris, termasuk melalui kolaborasi dengan Pemerintah Norwegia.
Kebutuhan pendanaan iklim Indonesia meningkat signifikan dari estimasi awal 247 miliar dolar AS (2018–2030) menjadi 472 miliar dolar AS untuk periode 2030–2035, sebagaimana tercantum dalam Second NDC. Hanif juga menegaskan bahwa penguatan pasar karbon Indonesia tidak dapat berjalan sendiri. Pemerintah memperluas keterhubungan dengan standar internasional melalui Mutual Recognition Agreements (MRAs) dengan berbagai lembaga, termasuk Gold Standard, Plan Vivo, Global Carbon Council, Verra, serta Letter of Intent dengan Puro.earth.
Melalui kerja sama ini, proyek karbon dapat memenuhi regulasi nasional sekaligus mengadopsi standar integritas global, sehingga kredit yang dihasilkan diakui lebih luas oleh pasar internasional.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indoensia (APHI) Soewarso menegaskan bahwa kepastian hukum yang diperkuat melalui Perpres 110/2025 menjadi sinyal positif bagi dunia usaha kehutanan. Menurutnya, pasar karbon berbasis hutan hanya dapat berkembang apabila regulasi, tata kelola, dan standar MRV berjalan seragam dari hulu ke hilir.
“APHI menyambut baik penyempurnaan regulasi yang dilakukan pemerintah, karena hal ini memberikan kejelasan perhitungan, transparansi unit karbon, serta kepastian bagi pelaku usaha dalam mengembangkan proyek-proyek berbasis Nature-based Solutions,” ujarnya.
Lebih jauh, Soewarso menyampaikan bahwa APHI berkomitmen memastikan pasar karbon tidak hanya mendorong mitigasi perubahan iklim, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat dan perekonomian daerah.
“Dengan potensi stok karbon yang besar, sektor kehutanan menjadi tulang punggung kontribusi Indonesia pada pasar karbon global. Kami mengajak investor, lembaga internasional, dan mitra pemerintah untuk memperkuat kolaborasi demi menghadirkan proyek karbon yang berintegritas tinggi, inklusif, serta mampu menciptakan nilai ekonomi baru bagi Indonesia,” katanya.
***



