Indonesia menerapkan tata kelola karbon yang kuat untuk mengimplementasikan perdagangan karbon sebagai penerapan dari Paris Agreement. Termasuk dalam kerja sama perdagangan karbon bilateral dengan Jepang.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi menjelaskan, Indonesia telah menjalin kesepakatan
Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan Jepang terkait perdagangan karbon bilateral dan berlaku efektif mulai 28 Oktober 2024.
“Kerja sama tersebut adalah merupakan bentuk nyata penerapan Paris Agreement untuk mencapai target pengendalian perubahan iklim,” katanya saat membuka diskusi bertajuk “Implementation NDC and Enhancing Ambition Based on Article 6 Paris Agreement” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Kamis, 21 November 2024.
Laksmi menjelaskan Indonesia telah melakukan serangkaian upaya untuk dapat melaksanakan mekanisme perdagangan karbon. Diantaranya dengan menyiapkan sejumlah regulasi seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Aturan itu menjadi payung hukum yang diperlukan untuk melakukan kerja sama internasional terkait karbon, amanat dari Pasal 6.2 Paris Agreement untuk kerja sama antarnegara dan Pasal 6.4 perdagangan karbon yang didorong mekanisme pasar.
“Indonesia sudah memperlihatkan contoh yang baik dengan bersama Pemerintah Jepang kami telah meluncurkan kesepakatan saling pengakuan antara skema sertifikasi Indonesia dan sistem Jepang,” katanya.
Berdasarkan MRA, kedua negara akan mengakui sistem kredit karbon masing-masing yaitu Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) Indonesia dan Joint Crediting Mechanism Jepang.
MRA Indonesia-Jepang menjadi model kerja sama bilateral antar negara pertama di dunia dalam kerangka Paris Agreement, seperti diatur pada pasal 6.2.
Analis Kebijakan Ahli Utama Bidang Perubahan Iklim KLHK Joko Prihatno menjelaskan empat langkah tata kelola karbon untuk menjaga integritas dalam perdagangan karbon. Pertama adalah teregister dalam Sistem Registri Nasional (SRN). Lalu dilakukan Pengukuran, Pelaporan dan verifikasi (MRV) menggunakan metodologi dan mekanisme sesuai UNFCCC.
“Verifikasi lakukan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi nasional,” katanya.
Selanjutnya adalah penerbitan Sertifikat Penurunan Emisi atau Internationally transferred mitigation outcomes (ITMOs). Kemudian perdagangan karbon dilakukan setelah melalui otorisasi dan corresponding adjustment.
Otorisasi merupakan proses pengakuan negara terhadap unit karbon yang ‘dijual’ keluar. Sedangkan Corresponding adjustment merupakan penyesuaian pencatatan jumlah kredit karbon yang ditransfer untuk dicatatkan sebagai penurunan emisi ke pihak pembeli.
Analis Kebijakan Ahli Utama Bidang Perubahan Iklim Syaiful Anwar menambahkan SRN adalah kunci untuk memastikan perdagangan karbon melalui kerja sama internasional akan berhasil secara transparan dan akuntabel.
“Melalui SRN Indonesia akan secara efektif mencapai target iklimnya sekaligus mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” katanya. ***