Pencapaian agenda FOLU Net Sink pada tahun 2030 membutuhkan peran besar dari para pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah, hingga mitra internasional.
Agenda FOLU Net Sink sangat ambisius dengan target pencapaian tingkat penyerapan gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) yang lebih tinggi ketimbang emisinya pada tingkat -140 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) pada tahun 2030.
Ketua Harian I Tim Kerja Indonesia FOLU Net Sink Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan target ambisius FOLU Net Sink dapat dicapai melalui kerja sama, dukungan, dan sinergi berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan aksi nyata.
“Termasuk pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pelaku Usaha, LSM, masyarakat, serta dukungan dari mitra internasional,” kata dia saat menyampaikan pidato kunci pada diskusi panel bertajuk “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Strengthening Stakeholders Role for Forest Restoration and Sustainability” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Senin, 18 November 2024.
Ruandha mengatakan untuk mencapai target yang dicanangkan, telah dibuat Dokumen Rencana Operasional FOLU Net Sink. Dokumen ini disusun dengan pendekatan analisis spasial untuk menghasilkan peta tematik yang menunjukkan lokasi prioritas pelaksanaan agenda FOLU Net Sink.
Adapun aksi mitigasi yang akan dilaksanakan adalah Pengendalian deforestasi dan degradasi hutan; Rehabilitasi dan Restorasi; Pengelolaan Hutan Lestari, Perbaikan Tata Kelola Gambut, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati, dan Pengelolaan mangrove.
Policy Director Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI) Hege Ragnhildstveit memuji inisiatif Indonesia memuji inisiatif Indonesia yang mencanangkan FOLU Net Sink. “Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan pengurangan emisi karbon dari sektor FOLU kepada dunia,” katanya.
Hege menyoroti capaian Indonesia yang berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan serta menekan laju deforestasi hingga ke tingkat yang sangat rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Hege mengatakan Norwegia mendukung upaya Indonesia untuk menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan melalui kerja sama bilateral. Berdasarkan kerja sama ini, Norwegia telah menyalurkan pendanaan sebesar 156 juta dolar AS.
“Kami berharap Negara lain mengikuti langkah Norwegia untuk mendukung upaya Indonesia menurunkan emisi GRk dari sektor FOLU,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Dian Novarina menjelaskan perusahaan Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) memiliki sejumlah inisiatif untuk mendukung agenda FOLU Net Sink. Salah satunya adalah dengan menerapkan Silvikultur Intensif (SILIN) pada areal hutan alam. Implementasi SILIN akan meningkatkan penyerapan karbon sekaligus produktivitas hutan alam dari 30-40 m3 per hektare menjadi 120 m3 per hektare.
Dian juga menjelaskan tentang upaya peningkatan stok karbon melalui restorasi ekosistem gambut di areal konsesi PBPH. Contoh kegiatan ini adalah Restorasi Ekosistem Riau (RER) di Semenanjung Kampar, Riau, yang didukung oleh April Group. “Total luas RER mencapai 150.693 hektare,” kata Dian.
Adapun aktivitas yang dilakukan diantaranya adalah restorasi fungsi hidrologis dengan membangun 111 sekat kanal untuk menahan tinggi air gambut pada level alaminya. Selain itu dilakukan pengkayaan pohon dengan penanaman pohon-pohon jenis setempat. Aktivitas pencegahan kebakaran hutan dan lahan juga dilakukan. “Sejak tahun 2014, areal RER bebas dari kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Hasil perhitungan dengan menggunakan Vera Carbon Standard, aktivitas restorasi di konsesi April Group berhasil mencegah emisi karbon sebesar 373,1 juta ton CO2e.
“Aktivitas rehabilitasi, restorasi dan praktik-praktik pengelolaan hutan yang baik dalam skala bentang alam sudah selayaknya menjadi bagian dari rantai nilai setiap unit manajemen hutan,” kata Dian. ***