Pengembangan bahan bakar terbarukan untuk pesawat jet (sustainable aviation fuel/SAF) dari minyak jelantah (used cooking oil/UCO) mengurangi emisi karbon sekaligus menjawab persoalan pengelolaan limbah rumah tangga dan industri.
Demikian mengemuka pada diskusi panel bertajuk
“Enhancing Ambition on Renewable Energy in Indonesia, Focusing on Used Cooking Oil and Its Potential to Be Sustainable Aviation Fuel” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Sabtu, 16 November 2024.
Hadir sebagai pembicara pada sesi tersebut Direktur Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas Nizhar Marizi, SVP Research & Technology Innovation PT Pertamina Oki Muraza, CEO PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, dan Senior Director Climate Diplomacy Opportunity Green United Kingdom Emma Fenton.
Menurut Nizhar Marizi, untuk mendukung pengembangan SAF, pemerintah Indonesia saat ini sedang menyiapkan regulasi dalam rangka mendukung pengembangan SAF di Indonesia.
Regulasi diperlukan setidaknya untuk menjawab dua tantangan besar, yakni terkait kuota dan tarif ekspor UCO serta pengembangan manajemen pengumpulan UCO untuk memastikan kualitas dan kualitas UCO yang nanti akan digunakan sebagai feedstock SAF.
Sementara itu Oki Muraza menjelaskan Pertamina sejak beberapa tahun lalu telah mengembangkan SAF berbasis UCO. Sebelumnya, pengembangan SAF yang dilakukan Pertamina menggunakan minyak kelapa sawit dalam bentuk crude palm oil (CPO) atau refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO).
Langkah Pertamina dimulai dengan mengumpulkan UCO dari berbagai sumber, termasuk rumah tangga, restoran, dan industri pengolahan makanan. Teknologi pengolahan SAF menggunakan jalur Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA) memungkinkan konversi minyak jelantah menjadi bahan bakar yang kompatibel dengan infrastruktur penerbangan yang ada.
Oki juga menekankan pada tahun depan, SAF dari UCO bisa digunakan secara komersial. Targetnya pada kuartal pertama tahun depan, SAF akan digunakan dalam joy-flight pada pesawat Pelita Air yang merupakan maskapai penerbangan milik Pertamina Group.
Oki mencatat, potensi pengumpulan UCO di Indonesia dapat mencapai 1,24 juta kiloliter per tahun. Namun, tantangan seperti kurangnya kesadaran masyarakat tentang mekanisme pengumpulan dan distribusi lokasi sumber UCO yang tersebar luas masih menjadi hambatan utama.
Untuk menjawab tantangan ini, Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga telah memulai program pra-pemasaran di Bali dengan memasok SAF kepada beberapa maskapai penerbangan.
“Pada Bali Air Show, kami membantu pelanggan kami mengurangi emisi hingga 84% menggunakan SAF ini,” kata Riva Siahaan.
Riva menekankan pentingnya kolaborasi untuk memperluas kapasitas produksi. Dalam jangka panjang, Pertamina menargetkan pengumpulan UCO meningkat dari 0,3 juta ton pada 2023 menjadi 1,5 juta ton pada 2030, guna mendukung produksi SAF dan bahan bakar rendah karbon lainnya.
Strategi ini melibatkan kolaborasi dengan sektor pemerintah dan swasta untuk memperluas kapasitas pengumpulan dan infrastruktur penyimpanan UCO.
“Keberhasilan SAF tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada regulasi yang mendukung, insentif pemerintah, dan kerja sama antara sektor publik dan swasta. Dengan Pertamina One Solution, kami optimis dapat mendorong transisi energi yang berkelanjutan di sektor penerbangan,” kata Riva.
Sementara Emma Fenton menilai langkah Pertamina menggunakan UCO merupakan penerapan dari ekonomi sirkular. Upaya Pertamina adalah contoh inspiratif dari komitmen untuk mengintegrasikan keberlanjutan dalam sektor penerbangan yang selama ini berkontribusi besar terhadap emisi karbon.
“Yang menonjol adalah pendekatan holistik Indonesia memanfaatkan jaringan luas kemitraan masyarakat, SPBU, dan kilang untuk membangun sistem pengumpulan dan produksi UCO yang kuat. Dengan mengintegrasikan upaya domestik dengan standar global dan berkolaborasi dengan mitra internasional, Indonesia memposisikan dirinya sebagai pemimpin potensial dalam produksi SAF dan diplomasi energi regional,” kata Emma.
Emma juga menegaskan Indonesia menunjukkan potensi kolaborasi publik-swasta dalam mendorong dampak positif. Ini adalah momen penting bagi komunitas global untuk mendukung inisiatif seperti ini, yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi sekaligus aksi nyata terhadap perubahan iklim.
“Saya berharap dapat melihat bagaimana kemitraan ini berkembang dan berkontribusi pada tujuan bersama kita untuk mencapai net-zero emissions di sektor penerbangan pada tahun 2050,” tutup Emma. ***