Aksi adaptasi dan mitigasi di tingkat tapak berbasis komunitas perlu terus didorong dengan melibatkan semua pihak termasuk dunia usaha.
Hal itu penting untuk merespons perubahan iklim sekaligus mendukung tercapainya target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi menyatakan dalam dokumen komitmen pengurangan emisi GRK (Nationally Determined Contributions/NDC) Indonesia mengakui besarnya peran multi pihak dalam pengendalian perubahan iklim.
Menurut Laksmi, salah satu program yang dikembangkan untuk menjalin kemitraan multi pihak dalam pengendalian perubahan iklim dari berbagai tingkatan mulai dari Nasional hingga di tingkat tapak adalah Program Kampung Iklim (ProKlim).
“ProKlim dikembangkan sejak tahun 2012 dan terus diperkuat sebagai program strategi pengendalian perubahan iklim,” katanya saat sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Selasa 9 November 2021.
Salah satu keunggulan ProKlim adalah aksi adaptasi dan mitigasi yang dikembangkan berbasis kearifan lokal. Ini menjadikan tiap ProKlim berbeeda-beda antara satu dengan lainnya.
Penguatan ProKlim, kata Laksmi juga menjadi amanat Presiden Joko Widodo tentang perlunya memobilisasi potensi masyarakat di tingkat tapak dalam pengendalian perubahan iklim.
KLHK menargetkan akan ada 20.000 kampung ProKlim hingga tahun 2024 mendatang. Adanya ProKlim menjadi jembatan untuk menerjemahkan kebijakan pengendalian perubahan iklim pada aksi kongkret di tingkat tapak.
ProKlim juga menjadi pendekatan inovatif dari skema kemitraan publik-swasta dalam pengendalian perubahan iklim.
Laksmi menyatakan ProKLim terus mengalami pembaruan dan perbaikan. Diantaranya adalah menyediakan platform pembelajaran jarak jauh dan disediakannya instrumen perhitungan pengurangan emisi GRK di tingkat tapak (SPECTRUM),
“Sistem informasi yang disediakan juga bisa dimanfaatkan semua pihak untuk meningkatkan kapasitas stakeholder dalam pengurangan emisi GRK,” kata Laksmi.
Untuk mendukung penguatan aksi adapatasi dan mitigasi perubahan iklim, APP Sinar Mas memperkuat program Desa Makmur Peduli Api (DMPA).
Head of Corporate Social and Community Engagement, APP Sinar Mas, Agung Wiyono menyatakan DMPA dimulai tahun 2016. Program DMPA diyakini mampu menekan potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sekitar desa-desa rawan sebanyak 70 persen.
Sejak awal diluncurkan, program DMPA yang dilakukan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur kini hampir menjangkau 500 desa rawan karhutla.
Agung menjelaskan dengan program DMPA edukasi kepada masyarakat bisa dilakukan terutama untuk tidak membuka lahan dengan cara dibakar.
Masyarakat setempat didukung untuk mengelola lahan dengan metode agroforestri (wana tani), yakni bercocok tanam tumpangsari hortikultura tanaman pangan, peternakan, perikanan, serta industri kecil untuk olahan pangan.
Pembinaan diberikan bukan hanya soal solusi pemilihan komoditas yang terbaik namun juga bagaimana produk tersebut bisa memasuki pasar dengan harga yang kompetitif.
“Sejumlah pelatihan kewirausahaan dan pelestarian tanaman herbal kepada masyarakat lokal, khususnya untuk perempuan dapat memanfaatkan berbagai tanaman herbal secara berkelanjutan,” kata Agung.
Dari pendampingan sejak tahun 2016 hingga saat ini, sejumlah desa binaan sudah mendapatkan penghargaan Kampung Iklim Utama, dan sudah berhasil merangkul 386 desa serta memberikan pengaruh pada 82 kelompok usaha perempuan dan memberikan manfaat pada sekitar 31.418 keluarga.
Dukungan bagi pengembangan ProKlim di tingkat tapak juga dinayatakan oleh Corporate Secretary, Pertamina Brahmantya Satyamurti Poerwadi dan Diah Suran Febrianti, Head of Environment & Social Responsibility, Astra.
Sementara itu pendiri Indonesia Energi and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha menekankan pentingnya peningkatan kapasitas masyarakat di tingkat tapak soal pengendalian perubahan iklim.
“Karena masyarakat di tingkat tapak adalah yang paling terancam dari perubahan iklim,” katanya.
Hangga Yudha menceritakan aktivitas IE2I yang ikut memberikan pendampingan bagi masyarakat di Desa Kanapa-napa, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Selatan.
Di sana masyarakat melakukan penanaman dengan jumlah bibit mencapai 12.000 batang. Masyarakat juga didampingi untuk mengembangkan budidaya komoditas alternatif seperti hortikultura. ***