Bursa karbon sedang dipersiapkan untuk meluncur tak lama lagi. Berbagai infrastruktur regulasi saat ini sedang dibahas sehingga bursa karbon bisa menjadi pasar sekunder untuk perdagangan sertifikat karbon.
Dalam prosesnya, penting bagi pemerintah untuk mendengar dan menerima masukan dari publik agar bursa karbon bisa mendukung aksi pengendalian perubahan iklim Indonesia.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto menjelaskan perdagangan karbon saat ini menjadi isu yang menarik perhatian bagi semua pihak, termasuk investor di dalam dan luar negeri.
Pemerintah, katanya, saat ini sedang melengkapi regulasi untuk mengoperasionalisasikan perdagangan karbon. “Untuk perdagangan karbon, pemerintah akan memberi panduan melalui regulasi,” katanya saat diskusi pengembangan perdagangan karbon yang diselenggarakan IPB dan UNDP secara hybrid, Rabu 22 Februari 2023.
Perdagangan karbon dipayungi Peraturan Presiden (Perpres) No 98 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Berdasarkan ketentuan tersebut, bursa karbon adalah bursa efek. Pengawasan dan pengaturan bursa karbon akan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti sudah diatur pada Undang-undang No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Direktur Pengawasan Aset Digital OJK Lufaldy Ernanda mengungkapkan saat ini Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang bursa karbon sedang dipersiapkan. “Semoga bisa kami rilis tahun ini sehingga bursa karbon bisa ‘Go Live’ akhir tahun,” kata Lufaldy.
Dia membisikkan pokok-pokok pengaturan bursa karbon dalam RPOJK yang dipersiapkan. Diantaranya tentang definisi Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPEGRK) dan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Selain itu juga akan diatur kegiatan usaha, permodalan, dan penyelenggara bursa karbon yang mencakup jenis kegiatan dan produk yang diperdagangkan.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Dodik R Nurrochmat menyatakan perdagangan karbon di bursa efek akan memberi beberapa keuntungan. Salah satunya adalah meningkatnya transparansi. “Ini bisa mengurangi karbon koboi yang hanya sekadar makelar,” katanya.
Dodik mengusulkan agar harga karbon yang diperdagangkan tidak dipukul rata. Melainkan memperhitungkan fungsi hutan yang menjadi lokasi penyerapan dan penyimpanan. Selain itu juga perlu mempertimbangkan ancaman yang berpotensi menyebabkan lepasnya karbon di lokasi tersebut.
Dodik mengatakan harga karbon harus mempertimbangkan Nilai Jual Objek Karbon (NJOK). Ini seperti pada NJOP untuk tanah dan bangunan yang bervariasi di berbagai lokasi. “Penentu harga karbon bukan semata-mata soal metode pengukuran, tapi pembeda utamanya adalah determinant price factor-nya,” katanya.
Untuk diketahui, IPB University saat ini sedang melaksanakan kajian praktik pasar karbon sekunder yang dapat dilakukan di Indonesia sehingga tujuannya untuk mengurangi emisi GRK dengan menawarkan imbalan dan hukuman finansial melalui kredit, tunjangan, atau kuota yang dapat dibeli dan dijual dapat terlaksana.
Kajian ini akan mencakup analisis praktik terbaik yang telah berjalan di dunia internasional termasuk hubungannya dengan pasar karbon primer di jurisdiksi masing-masing, opsi-opsi yang dapat diterapkan di Indonesia sejalan dengan konteks kebijakan dan kesiapan nasional, kondisi pemungkin yang telah ada dan yang diperlukan, serta merekomendasikan opsi prioritas, tata cara perdagangan, dan peta jalannya.
Aspirasi
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan saat ini pasar karbon masih didominasi oleh pasar voluntary. “Oleh sebab itu dalam proses registrasi ke Sistem Registri Nasional (SRN) sebagai bagian dalam pencapaian NDC Indonesia maka perlu penyederhanaan proses methodology adjustment dari skema voluntary ke SRN,” katanya.
Supaya pasar karbon lebih bergairah, maka hal lain yang perlu dibahas mendalam adalah perlunya dibuka ruang untuk perdagangan karbon luar negeri selain pasar domestik sepanjang tidak ada perpindahan unit.
Pembahasan lain yang juga harus dilakukan adalah terkait mekanisme perdagangan di bursa efek. Selama ini, instrumen yang dipasarkan di bursa efek berbasis pada surat berharga seperti saham, obligasi, derivatif, reksa dana, dan lainnya. Sementara pada perdagangan karbon yang diperdagangkan adalah SPE yang karakteristiknya berbeda dengan surat berharga.
Purwadi juga mengatakan perlu dibahas lebih lanjut tentang penetapan kriteria karbon yang dapat diperdagangkan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung. Pembahasan perlu mempertimbangkan bahwa inventory SPE dapat habis terpakai digunakan untuk perdagangan emisi dan suplai karbon bisa fluktuatif setiap tahun serta memerlukan waktu untuk validasi.
Dharsono Hartono dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk memberi kontribusi pada dunia terkait perdagangan karbon untuk pengurangan emisi GRK.
Dia mengatakan, untuk mendukung pengembangan pasar karbon Kadin sedang mempelopori Carbon Center of Exelence untuk meningkatkan pemahaman tentang isu karbon dan memberi contoh praktiknya di Indonesia.
“Sehingga kami bisa memfasilitasi cara-cara terbaik bagi para pelaku pasar karbon di sisi supply maupun di pasar sekunder,” katanya.
Dharsono berharap kontribusi Kadin bisa ikut membangun pasar karbon Indonesia diakui secara internasional yang pada akhirnya bisa mendukung pencapaian NDC Indonesia.
Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Naresworo Nugroho menyatakan Indonesia yang berperan aktif dalam aksi pengendalian perubahan iklim global perlu merumuskan pasar karbon sekunder untuk melengkapi pasar karbon primer yang ada.
“Arahan yang lebih detil (untuk pembentukan pasar karbon sekunder) perlu dirumuskan dengan memperhatikan aspirasi para pihak.
Naresworo mengatakan, kajian diperlukan terkait analisis, implementasi praktik terbaik termasuk soal hubungan hubungan antara pasar karbon primer dan sekunder. Dia mengatakan pentingnya disiapkan berbagai opsi-opsi dan peta jalan menuju operasionalisasi pasar karbon sekunder. Naresworo berharap kajian yang dilakukan IPB dan diskusi-diskusi yang melibatkan para pihak bisa membantu perumusan pasar karbon di Indonesia. ***