Pemanfaatan jamur mikoriza bisa memberi manfaat besar untuk peningkatan produktivitas tanaman di lahan gambut sekaligus mampu menyerap dan menyimpan karbon di bawah tanah.
Aplikasi jamur mikoriza dalam skala yang lebih luas bisa mendukung upaya rehabilitasi gambut terdegradasi dan membantu Indonesia dalam upaya pengurangan emisi karbon untuk mencegah perubahan iklim.
“Pemanfaatan jamur mikoriza akan memberi manfaat besar dalam peningkatan stok karbon dan ketahananan kehidupan masyarakat,” kata Kepala Badan Standardisasi Instrumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSI KLHK) Ary Sudijanto dalam sambutannya secara virtual pada diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP27 UNFCCC di Sharm El Sheikh, Senin, 14 November 2022.
Untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah menyerahkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) kepada Sekretariat UNFCC dengan target untuk menurunkan emisi GRK sebesar 31,89% dengan upaya sendiri sebesar 43,20% dengan dukungan Internasional pada tahun 2030.
Selain itu, pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) Indonesia menargetkan penyerapan GRK yang lebih tinggi atau setidaknya seimbang dibandingkan emisinya di tahun 2030. Tingkat emisi yang ingin dicapai adalah minus 140 juta ton setara karbondioksida (CO2e).
Presiden Japan Peat Society Profesor Mitsuru Osaki mengingatkan pentingnya merestorasi gambut dalam upaya penurunan emisi karbon.
Menurut dia, gambut yang terdegradasi adalah lahan paling buruk di dunia karena sangat tidak produktif.
Dia mengingatkan, lahan gambut sesungguhnya adalah ekosistem ajaib dimana pohon bisa tumbuh tinggi meski suplai oksigen dan nutrien sangat minim.
Hal itu disebabkan adanya simbiosis mikroorganisme yang difasilitasi oleh jamur mikoriza.
Osaki pun menyarankan aplikasi jamur mikoriza dalam proses restorasi lahan gambut.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Maman Turjaman menjelaskan jamur mikoriza tumbuh di bawah tanah di akar pohon.
Simbiosis yang terjadi membuat pohon bisa menyerap CO2 lebih cepat dan membantu pertumbuhan.
“Jamur mikoriza juga membantu menahan karbon di bawah tanah, mencegahnya terlepas ke atmosfir,” kata Maman.
Dia menjelaskan, saat ini pihaknya bersama BSI KLHK dan APP Sinar Mas sedang melakukan ujicoba pemanfaatan jamur mikoriza untuk restorasi lahan gambut berkedelaman hampir 4 meter di Pedamaran, Sumatera Selatan dan Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah.
Uji coba dilakukan dengan prinsip meggunakan mikoriza spesies asli setempat dan pohon spesies asli setempat.
Berdasarkan hasil pengamatan, aplikasi mikoriza untuk penanaman pohon jenis setempat seperti gerunggang, shorea belangeran, dan pelawan pada plot di Tumbang Nusa seluas 10 hektare menunjukan tingkat pohon hidup mencapai 86,15% dengan peningkatan stok karbon mencapai 638,4 ton setara karbon dioksida (CO2e).
Sementara di Pedamaran, tingkat hidup pohon mencapai 76,78% dengan peningkatan stok karbon mencapai 71,87 ton CO2e.
Maman mengatakan pentingnya dibuat standar rehabilitasi lahan dengan memanfaatkan jamur mikoriza sehingga bisa diaplikasikan di lokasi lain termasuk di lahan masyarakat.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna mengingatkan pentingnya keterlibatkan masyarakat dalam restorasi gambut.
“Pengelolaan gambut dengan pola agroforestry oleh masyarakat bisa mendukung kesejahteraan sekaligus meningkatkan emisi karbon,” katanya.
Dolly mengungkapkan, salah satu yang sedang dilakukan Belantara Foundation adalah melakukan pendampingan pada Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Wono Lestari di Desa jati Mulyo, Jambi yang mengelola Hutan Kemasyarakatan di lahan gambut seluas 93 hektare. **