Industri kelapa sawit hulu-hilir ternyata berkontribusi besar dalam pengendalian perubahan iklim.
Berdasarkan perhitungan, tutupan kebun sawit nasional seluas 16,38 juta hektar berkontribusi pada penyerapan 2,2 miliar ton CO2 setiap tahun.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdalifah Mahmud menjelaskan sesuai dengan komitmen untuk pengurangan emisi karbon yang telah dicanangkan Indonesia dalam dokumen Nationally Determinded Contribution (NDC), pemerintah terus mengawal agar industri kelapa sawit bertransformasi untuk menerapkan praktik berkelanjutan.
“Sesuai dokumen NDC, industri kelapa sawit hulu-hilir berperan penting untuk mencapai target Nasional yang ingin dicapai tahun 2030,” kata dia saat memberi pidato kunci saat sesi diskusi panel bertajuk “Contributing Palm Oil Towards Carbon Emission Reduction” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP27 UNFCCC di Sharm El Sheikh, Mesir, Kamis 10 November 2022.
Untuk mendorong praktik keberlanjutan di industri kelapa sawit, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden No 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang disebut dengan ISPO.
Adanya ISPO menaikkan daya saing sekaligus memperkuat upaya untuk mengakselerasi penurunan emisi karbon dari industri kelapa sawit Indonesia.
Musdalifah juga mengatakan untuk meningkatkan peran kelapa sawit dalam pengurangan emisi karbon dengan mengembangkan biodisel (B30) untuk mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar fosil.
Berdasarkan perhitungan program B30 telah mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 29,5 juta ton setara CO2 di tahun 2022.
Di sisi lain, tutupan kebun sawit seluas 16,38 juta hektare juga berkontribusi pada penyerapan 2,2 miliar ton CO2 setiap tahun.
Kontribusi penyerapan karbon dari biodisel kelapa sawit diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan rencana penerapan B40 dan peningkatan bauran energi baru dan terbarukan 23% pada tahun 2025.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dewanthi menjelaskan untuk menekan emisi karbon dari sektor penggunaan lahan, pemerintah telah menerbitkan kebijakan penghentian penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut.
“Kebijakan ini juga berlaku untuk perkebunan,” katanya.
Laksmi mengatakan, untuk peningkatan produksi minyak sawit kebijakan yang diimplementasikan tidak lagi ekstensifikasi lahan tetapi intensifikasi seperti tertuang dalam dokumen NDC.
“Pemerintah akan mendorong produktivitas kebun sawit dari 18,18 ton per hektare di tahun 2019 menjadi 20,4 ton per hektare ada tahun 2030,” katanya.
Laksmi juga menjelaskan berdasarkan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 6 Tahun 2019. Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 pemerintah akan terus mendorong perkebunan sawit untukmelakukan aksi perlindungan keanekaragaman hayati dan bentang lahan.
Ketentuan itu juga akan menjadi panduan untuk menyelesaikan persoalan satus lahan perkebunan sawit dan upaya-upaya lain untuk pengurangan emisi gas rumah kaca.
Wakil Rektor IPB University Profesor Dodik R Nurrochmat menjelaskan untuk meningkatkan penyerapan emisi karbon di lahan terdegradasi, pengembangan kebun sawit dengan pola agroforestry bisa dijadikan pilihan.
“Agroforestry sawit akan meningkatkan produktivitas lahan menjaga fungsi hidrologis dan ekologis dan meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon,” katanya.
Dia menyatakan dengan meningkatkan produktivitas lahan, maka kebakaran hutan dan lahan yang menjadi salah satu sumber emisi karbon bisa ditekan.
“Cara yang paling efektif untuk mengurangi emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan adalah dengan meningkatkan produktivitasnya. Pada lahan yang produktif kebakaran bisa dicegah karena akan ada pengelolanya,” kata Dodik.***