Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Jumat (16/5/2025).
Agenda sidang yaitu Mendengar Keterangan DPR dan Presiden (Pemerintah).
Presiden yang diwakili Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Ade Tri Ajikusumah mengatakan pemerintah melalui UU Ciptaker menjaga hutan dari perusakan yang diklaim sepihak secara ilegal.
“Pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan dengan memberikan batasan paling singkat lima tahun secara terus menerus. Hal ini bertujuan untuk menjaga hutan dari perusakan yang dilakukan oleh perambah yang mengklaim sebagai masyarakat setempat,” ujar Ade di hadapan para hakim konstitusi di Ruang Sidang MK, Jakarta seperti disampaikan dalam siaran resminya.
Perkumpulan Pemantau Sawit selaku Pemohon perkara ini menguji Pasal 12A, Pasal 17A, dan Pasal 110B UU 18/2013 sebagaimana telah diubah dalam Paragraf 4 Pasal 37 angka 4, angka 6, dan angka 20 UU Ciptaker.
Pemohon mendalilkan Pasal 12A ayat (2) UU 18/2013 sepanjang kata “dikecualikan” dan sepanjang frasa “dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan” bertentangan dengan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Ade menjelaskan, penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan negara.
Sementara, penyelesaian penguasaan bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan negara di dalam kawasan hutan negara diawali dengan inventarisasi dan verifikasi.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Karena itu, Ade mengatakan penyelesaian hak masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan sudah terakomodasi pola penyelesaiannya sebagaimana diatur PP 23/2021.
Menurutnya, Pasal 12A ayat (2) memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dengan adanya syarat minimal lima tahun dan harus terdaftar, masyarakat yang benar-benar memiliki keterikatan dengan hutan dapat mendapatkan hak kelola atau hak tinggal secara legal.
Selain itu norma a quo juga mencegah perambahan liar dan penyalahgunaan lahan hutan dengan membatasi klaim sepihak dari pihak yang baru masuk dan ingin menguasai lahan secara ilegal.
Pemerintah juga menyebut norma a quo mendukung program perhutanan sosial untuk memberikan izin kelola kepada masyarakat lokal dalam skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), atau Kemitraan Kehutanan serta mendorong penyelesaian konflik tenurial dengan adanya pencatatan resmi, konflik antara masyarakat dan pemerintah atau perusahaan bisa diminimalisasi karena ada kepastian siapa yang berhak mengelola kawasan tersebut.
Subjek hukum yang dilarang melakukan kegiatan dalam Pasal 12 hanya orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi.
Kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial bukan merupakan subjek hukum yang dilarang melakukan kegiatan dalam Pasal 12.
Namun, pengenaan sanksi administratif Pasal 12A ayat (1) hanya menyasar kepada orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat lima tahun yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f dan/atau huruf h.
Pengenaan sanksi administratif kepada korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi tidak diletakkan dalam Pasal 12A, tetapi di beberapa pasal lain.
Sementara DPR belum menyampaikan keterangannya dan tidak hadir di persidangan hari ini.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan Pemohon hanya dapat menghadirkan dua ahli dan dua saksi di persidangan, selebihnya dapat disampaikan hanya melalui keterangan tertulis. Persidangan berikutnya akan dilaksanakan pada Jumat, 23 Mei 2025. ***