Upaya pelestarian hutam mangrove di wilayah pesisir banyak menemui permasalahan hukum.
Peneliti Pusat Rist Hukum (PRH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laely Nurhidayah mengungkapkan ada banyak permasalahan hukum ditemui dalam penelitian yang dilakukannya. Terutama terkait pelestarian hutan mangrove di Indonesia, khususnya di wilayah pesisir utara jawa.
“Terkait Mangrove ke depannya akan banyak permasalahan dan tantangan khususnya dengan kebijakan pemerintah. Terutama dari aspek tanah atau lahan baru dan peruntukan lahan,” imbuh Laely dalam diskusi “Tantangan Hukum Restorasi Mangrove di Indonesia (Studi Kasus Semarang)”, Selasa (30/7).
Laely mengatakan bahwa kenaikan permukaan air laut merupakan permasalahan utama di wilayah pesisir Pulau Jawa Indonesia, termasuk Jakarta, Semarang, Brebes, Pekalongan dan Demak. Hal tersebut lantaran di masa lalu oleh karena mangrove ditebang untuk budidaya perikanan dan kayu bakar.
Laely menjelaskan, wilayah pesisir utara pulau jawa telah terdampak perubahan iklim, naiknya permukaan laut dan permasalahan tanah lainnya. Kondisinya, di daerah-daerah tersebut sering terdampak bencana rob.
“Bencana rob tersebut bukan lagi menjadi bencana tahunan tapi menjadi banjir sepanjang hari,” ungkapnya.
Lebih jauh, Laely menegaskan, dampak paling buruk yang terjadi yakni adanya salah satu bagian wilayah desa, yaitu desa Dukuh terendam air laut. Mereka harus migrasi karena des tersebut sudah tidak dapat dihuni lagi.
Demikian juga ia jelaskan kejadian yang sama di Bedono, tepatnya desa Rejosari Kabupaten Semarang. Dan beberapa desa di Pekalongan. Abrasi parah yang mengakibatkan rumah-rumah hancur sehingga diprediksi tahun 2035 desa tersebut akan hilang, berubah menjadi perairan.
Melihat kejadian nyata adanya desa yang hilang terkena rob, Laely menyatakan bahwa ekosistem mangrove harus dipulihkan. Restorasi dilakukan melalui kegiatan seperti rehabilitasi, restorasi, suksesi alami, perlindungan habitat mangrove, serta metode lain yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Perlu adanya sinergi kebijakan antara pusat, daerah, dan masyarakat mengenai perlindungan mangrove dan penegakan aturan perundangan. Hal itu terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” tegasnya. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Hukum, Ade Angelia Y Marbun menyampaikan, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam restorasi lahan untuk mangrove yaitu aspek teknis atau ekologis, hukum, sosial, dan keuangan atau operasional.
“Aspek hukum memegang peran penting sebagai perlindungan dalam restorasi terkait lahan mangrove,” terang Ade.
Hal tersebut diungkapkan Ade, untuk memberikan dasar bahwa lokasi tersebut secara hukum ditetapkan sebagai kawasan mangrove atau kawasan ruang terbuka hijau berdasarkan rencana tata ruang. Dengan demikian dapat mencegah terjadinya alih fungsi lahan. Sehingga yang paling aman dan ideal, menurut penjelasannya, lokasi lahan restorasi mangrove harus milik instansi pemerintah dan hutan mangrove tersebut bisa dijadikan lokasi wisata alam.
Yang tidak kalah penting adalah dalam perlindungan mangrove. Ia mengatakan bahwa peran komunitas, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan peran serta perempuan terhadap konsep konservasi. Di mana, lokasi mangrove menjadi tempat yang sangat penting. Di sini perempuan sebagai aktor, penggiat pelestarian, dan pelindung mangrove. ***