Jumat, 26 Juli 2024

Sinergitas Pelaku Hulu-Hilir Tingkatkan Feasibility Pengembangan Energi Biomassa

Latest

- Advertisement -spot_img

Sinergitas antar pelaku menjadi jawaban atas tantangan pengembangan energi berbasis biomassa hutan.

Di sisi lain, dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah akan merangsang tumbuhnya energi yang menjadi salah satu solusi untuk pengendalian perubahan iklim tersebut.

Demikian mengemuka pada Diskusi Virtual “Kontribusi Sektor Kehutanan untuk Pengembangan Energi Biomassa di Indonesia,” yang diselenggarakan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Jumat, 18 Februari 2022.

“Apabila pelaku di downstream, middle stream dan upstream bisa bersinergi menjadi satu mata rantai maka akan nilai keekonomian akan naik sehingga pengembangan energi biomassa bisa feasible,” kata Bobby Gafur S Umar, CEO Indoplas Energy.

Indoplas Energy sudah menjalin nota kesepahaman dengan PT Cipta Energi Lestari dan PT Inhutani III untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Kalimantan Barat, pada Desember lalu. 

Bobby yang juga merupakan Wakil Ketua Umum KADIN, itu menyatakan energi biomassa hutan memiliki potensi besar untuk dikembangkan seiring dengan komitmen penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). 

Bobby Gafur S Umar, CEO Indoplas Energy

Biomassa hutan bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku co firing pada pembangkit listrik berbasis batubara (PLTU) dengan kebutuhan biomassa mencapai 4,1 juta ton per tahun.

Biomassa hutan juga berpotensi menjadi sumber utama bahan bakar pada PLTBm. Pada dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik, PLTBm ditargetkan bisa memasok listrik sebesar 590 MW pada tahun 2030 mendatang.

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi biomassa hutan adalah kebijakan pemerintah tentang pembelian listrik dari pengembang PLTBm.

Kebijakan itu diatur lewat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Berdasarkan ketentuan itu, harga beli listrik yang diproduksi PLTBm oleh paling tinggi 85% dari biaya pokok produksi (BPP) pembangkitan listrik setempat.

Hal ini menjadikan investasi kelayakan usaha PLTBm tak terlalu menarik karena acuan BPP adalah PLTU batubara yang banyak mendapat kebijakan subsidi.

Rencana penerbitan Peraturan Presiden tentang EBT diharapkan bisa menjadi jawaban atas tantangan terkait harga pembelian listrik tadi.

Menurut Bobby, pengembangan PLTBm bisa memanfaatkan skema financing luar negeri. Investor, kata Bobby bisa memanfaatkan jasa dari lembaga pembiayaan tempat asal teknologi PLTBm yang dimanfaatkan.

“Kita juga bisa perpanjang masa asuransi kredit sepanjang masa pinjaman sehingga seperti kredit jangka panjang,” katanya.

Dia menyatakan dengan ketersediaan pembiayaan dan sinergi antar pelaku energi biomassa dari hulu hingga hilir maka kelayakan usaha pengembangan energi terbarukan bisa ditingkatkan.

Bobby pun mengajak agar APHI bersama dengan KADIN dan Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) untuk bersama-sama mendorong pemerintah membuat kebijakan yang mendukung pengembangan PLTBm bisa semakin cepat.

Apalagi pengembangan PLTBm bisa membuka lapangan kerja yang sangat luas. “Potensi energi biomassa bisa mencapai 32,6 GW dengan investasi mencapai 52,1 miliar dolar AS dan mampu menyerap 12 juta orang tenaga kerja,” katanya.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan situasi saat ini adalah peluang bagi anggota APHI untuk ikut mengembangkan hutan tanaman energi. 

“Untuk anggota APHI yang tidak aktif, pengembangan biomassa hutan ini bisa menjadi pilihan untuk kembali menjalankan bisnisnya,” kata Indroyono.

Ketersediaan lahan hutan yang luas juga dipandang sebagai salah satu alasan besarnya potensi pengembangan energi biomassa di tanah air.

Saat ini ada 567 unit Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan luas 30,5 juta hektare yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan hutan tanaman energi.***

More Articles