Jumat, 26 Juli 2024

Semangat Hankamrata Pengembangan Energi Biomassa

Latest

- Advertisement -spot_img

PT PLN menegaskan komitmen untuk pemanfaatan biomassa dalam pembangkitan listrik demi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk pengendalian perubahan iklim.

Ini menjadi peluang bagi perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untu pengembangan Hutan Tanaman energi.

Penegasan komitmen PLN disampaikan langsung oleh Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo.

Menurut Darmawan, pihaknya berkomitmen menjaga ketahanan energi seiring dengan mengurangi emisi karbon yang berasal dari batubara.

Meski demikian, jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara belum bisa dipensiunkan dini saat ini.

Untuk itu, PLN mulai menerapkan cofiring yaitu melakukan substitusi sebagian batubara dengan biomassa.

“Sehingga aset (PLTU) tetap berjalan dan emisi bisa dikurangi,” katanya saat seminar “Peningkatan Bauran EBT 23% melalui Keberlanjutan Pasokan Bahan Bakar Cofiring dan Pembangkit Bioenergi” yang berlangsung di Denpasar, Bali, Kamis 30 Juni 2022.

Darmawan mengakui program transisi energi ini bukan perkara mudah karena membutuhkan lahan yang luas untuk pengembangan tanaman biomassa dan melibatkan banyak tenaga kerja.

Namun Darmawan melihat ini sebagai peluang untuk mengembangkan energi kerakyatan. Konsepnya adalah melibatkan rakyat untuk ikut menanam tanaman biomassa.

“Jutaan rakyat bekerja produktif memproduksi energi yang berbasis pada kerakyatan. Ini lah yang kita sebut kekuatan rakyat Indonesia. Maka ada konsep namanya hankamrata, pertahanan keamanan rakyat semesta,” kata Darmawan.

Darmawan menyitir semangat yang digelorakan oleh Bung Tomo saat menghadapi tentara NICA dalam Perang Surabaya.

Dia pun mengajak seluruh jajaran PLN dan semua pihak untuk meniru semangat tersebut.

“Konsepnya sama. Tadi perang Surabaya adalah pertahanan kemananan rakyat semesta. Kali ini bagaimana membangun ketahanan energi berbasis pada kekuatan rakyat semesta,” katanya.

Direktur Mega Proyek dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) PLN, Wiluyo Kusdwiharto menjelaskan PLN punya target untuk mencapai carbon neutral. Di sisi lain energi fosil juga akan habis.

Untuk itu PLN memanfatkan bioenergi di PLTU melalui teknologi cofiring.

Melalui teknologi ini, PLN tak hanya mengurangi angka ketergantungan akan batu bara tetapi juga menghasilkan energi yang lebih bersih.

“Cofiring merupakan sebuah teknologi substitusi batubara dengan bahan bakar biomassa yang bersumber dari tanaman energi, limbah perkebunan, limbah pertanian, limbah pertukangan, bahkan hingga sampah domestik,” ujar Wiluyo.

Dari Program cofiring tersebut, PLN telah menghasilkan energi hijau hingga 487 MWh di mana pencapaian tahun 2021 sebesar 269 MWh dan hingga Mei tahun 2022 sebesar 218 MWh.

Hingga Mei, PLN mengimplementasikan teknologi ini di 32 PLTU di seluruh Indonesia.

“Pencapaian ini menjadi bukti keseriusan PLN mendukung Pemerintah dalam percepatan pemanfaatan EBT menuju target 23% di tahun 2025,” ujar Wiluyo.

Dalam pelaksanaan cofiring, PLN Grup telah membangun rantai pasok penyediaan bahan baku biomasa melalui pendampingan, pengembangan, pembudidayaan tanaman energi dan limbah antara lain serbuk kayu atau sawdust, woodchip, bonggol jagung dan solid recovered fuel (SRF) dari sampah.

“Di mana kebutuhan akan biomassa ini membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah maupun tanaman energi sebagai bahan baku biomassa tersebut,” tambah Wiluyo.

Untuk tahun 2022 diperkirakan kebutuhan biomassa untuk bahan bakar cofiring mencapai 450.000 ton dan hingga 2023 naik 5 kali menjadi 2,2 Juta ton dari berbagai jenis biomassa.

Untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa, PLN telah mendapat kepastian pasokan dari sinergi BUMN, Pemerintah Daerah, bahkan hingga pihak swasta.

Peluang

Anggota Dewan Penguatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Hadi Siswoyo mengatakan semakin banyaknya pemanfaatan biomassa dalam cofiring PLN adalah peluang bagi pemegang perizinan PBPH untuk mengembangkan HTE

Saat ini sebanyak 31 unit PBPH plus Perum Perhutani telah menyatakan komitmen pembangunan HTE untuk mendukung pemanfaatan biomassa kayu dalam pembangkitan listrik PLN yang rendah karbon.

“Sebanyak 13 unit PBPH telah mengalokasikan areal seluas 142.172 hektare (Ha) dengan realisasi sampai akhir tahun 2021 seluas 12.059 Ha,” kata Hadi.

Sementara BUMN kehutanan Perum Perhutani telah mengalokasikan areal seluas 67.000 hektare dengan realisasi tanam hingga akhir tahun 2021 seluas 31.000 Ha.

Dengan asumsi setiap 5.000 Ha HTE bisa mendukung kebutuhan biomassa kayu untuk pembangkitan listrik sebesar 10 MW, maka HTE yang ada saat ini berpotensi menyediakan biomassa untuk pembangkitan listrik sebanyak 284 MW.

Itu berarti, luas HTE yang ada saat ini masih di bawah kebutuhan jika melihat dokumen Rencana Umum Pembangkitan Tenaga Listrik (RUPTL) sampai 2030 dimana pembangkit listrik berbasis biomassa ditargetkan sebesar 587 MW.

“Kami punya tim feedstock untuk mendorong anggota APHI mengembangkan HTE,” kata Hadi.

Hadi mengatakan, salah satu kendala dalam pengembangan HTE adalah mencapai titik temu keekonomian harga biomassa sebagai feedstock PLTU.

Sebagai solusi, APHI terus memfasilitasi berbagai skema-skema kerja sama yang menguntungkan bagi PBPH dan PLTU.

Selain itu APHI juga terus menjajaki berbagai skema pembiayaan yang ada baik di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga HTE bisa terus berkembang.

Hadi mengatakan adanya skema multi usaha kehutanan dimana PBPH bisa mengembangkan berbagai macam komoditas di dalam kawasan hutan juga semakin meningkatkan peluang pengembangan HTE.

Dia menekankan pemanfaatan biomassa kayu adalah bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam pengendalian bencana perubahan iklim. Untuk itu diperlukan political wiil untuk pengembangan HTE.

Kerakyatan

Direktur Pusat Penelitian Bioenergi dan Surfaktan IPB Meika Syahbana Rusli mengatakan PLN perlu melibatkan masyarakat dalam pengembangan biomassa sebagai bagian dari pemberdayaan sekaligus memperkuat upaya Indonesia menghadapi tantangan energi.

Meika mengatakan PLN tidak perlu khawatir soal lahan karena pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyediakan lahan hutan yang bisa dimanfaatkan masyarakat dengan skema perhutanan sosial.

“Ada hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, dan hutan desa serta kemitraan kehutanan, ada 572 ribu hektare yang bisa digunakan masyarakat,” katanya.

Meika memberi catatan bagaimana menggerakkan masyarakat agar mau membudidayakan tanaman energi seperti kaliandra, gamal, lamtoro, sengon, dan lainnya.

Selain memikirkan pola tanam tumpang sari antara tanaman energi dan tanaman lainnya, keekonomian dari pasokan disebut juga penting.

Selanjutnya, menciptakan ekosistem tanaman energi yang melibatkan masyarakat lewat kelompok tani, pihak pengolah yang bisa dari anak usaha PLN atau swasta, hingga akhirnya diterima oleh PLTU.

“Ini yang menjadi concern PLN agar suplai biomassa berlanjut dari waktu ke waktu,” terang Meika.

Sejauh ini, IPB telah melakukan analisis kelayakan dan keekonomian terhadap potensi kayu yang dinilai kompetitif bila ditanam dan dijual oleh petani.

Meski demikian, yang tak kalah penting adalah kebijakan pemerintah atau mekanisme dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan co-firing dengan biomassa.

Sebagai contoh ia menyebut Jepang dan Korea Selatan yang meski tak memiliki sumber biomassa memadai, namun bisa menjalankan program dengan melakukan impor serta didukung oleh kebijakan negara itu.

“Jadi catatannya bisa berjalan jika ada dukungan kebijakan dan insentif,” katanya. ***

More Articles