Selasa, 19 November 2024

Rumah Produksi Bersama, UMKM Bisa Naik Kelas

Latest

- Advertisement -spot_img

Usaha Kecil dan Menengah seharusnya tidak hanya menghasilkan produk semacam keripik emping semata, namun sudah harus masuk pada rantai pasok industri dan ini membutuhkan sentuhan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi.

Demikian disampaikan Dr Ali Alkatiri,  Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok UKM Kementerian Koperasi dan UKM, pada diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu, 27 Maret 2024. 

Dalam diskusi yang dipandu Ketua Komite Kebencanaan dan Pengembangan Wilayah CTIS, Dr. Idwan Soehardi itu, Ali Alkatiri menegaskan bahwa di tengah persiapan menjadi negara industri dan  negara maju, Indonesia justru mengalami fase de-industralisasi dini.  Ini terlihat dari kontribusi industri manufaktur yang turun dari 32% Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2002 menjadi tinggal 18,3% saja di tahun 2022.  Ini mengakibatkan tenaga kerja yang tadinya bekerja di sektor pertanian dan sudah beralih ke sektor manufaktur dan jasa, juga mengalami penurunan produktivitas. 

Namun demikian, Ali Alkatiri juga mengungkapkan bahwa ada potensi besar yang bisa digarap dan bisa dikembangkan kedepannya, yaitu usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).  “Sebagai mantan Perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saya ingin teknologi menjadi pemacu perkembangan UMKM di tanah air,”  kata Ali.  

Betapa tidak, UMKM berkontribusi 60,5% pada PDB Nasional. Lalu 60% investasi Nasional datang dari UMKM. Selain itu 15% ekspor non-migas adalah hasil UMKM. Permasalahannya, 99,6% usaha didominasi usaha mikro dan 109,8 juta pekerja hanya berkecimpung di usaha mikro.  Ini yang harus diangkat kelasnya menjadi usaha kecil dan kemudian menjadi usaha menengah.  Caranya, lewat hilirisasi, lewat pemberian nilai tambah pada produk UMKM dan lewat penerapan iptek. 

Menurut Ali, Pemerintah telah menginventarisasi 21 komoditas yang sudah memiliki peta jalan hilirisasi dengan potensi investasi 535 miliar dolar AS.  Ini termasuk hilirisasi sumberdaya mineral dan migas, serta hilirisasi komoditas non-migas, seperti kelapa sawit, kelapa, karet, biofuel, kayu getah pinus, udang, ikan, kepiting, rumputlaut, dan garam.   Dalam proses hilirisasi ini maka UKM bisa masuk sebagai bagian dari rantai pasok industrinya. 

Disinilah kemudian Pemerintah membangun Rumah Produksi Bersama (RPB) di daerah-daerah dalam rangka hilirisasi dan pengelolaan UKM secara terpadu.  Untuk masuk tahap industri maka produk harus memiliki standar industri dan di RPB inilah sumberdaya manusia UKM disiapkan. 

Lewat RPB maka akses penyediaan bahan baku dimaksimalkan, juga perluasan akses pasar dan ada penyediaan akses permodalan.  Di samping kualitas dan kuantitas produk UKM terjamin, maka RPB bisa memangkas mata rantai produksi, sehingga semakin efisien dan memerkuat daya saing produk UMKM di pasar internasional.  Ini jelas menjamin kepastian pengembalian pinjaman dari perbankan, juga sekaligus meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus menghasilkan devisa bagi Negara.

Sejak Program Rumah Produksi Bersama (RPB) digulirkan pada tahun 2022, saat ini telah berdiri 11 RPB di 11 Kabupaten dengan produk UKM yang beragam.  Misalnya, RPB di Kabupaten Minahasa Selatan memproduksi sabut kelapa untuk memasok pabrik-pabrik mobil. 

RPB di Kabupaten Kutai Kartanegara memproduksi tepung jahe dan minyak atsiri dari jahe.  RPB di Kabupaten Garut memproduksi tas, jaket dan sepatu dari kulit,  RPB di Kabupaten Sukoharjo memproduksi rotan setengah jadi untuk memasok industri kerajinan rotan.  Lalu RPB di Yogyakarta memproduksi susu olahan, sedang RPB di Kabupaten Pangkep memproduksi garam industri dan garam konsumsi.  Sedang RPB di Kabupaten Manggarai Barat memproduksi bambu laminasi.

Dewan Pengawas CTIS, Profesor Indroyono Soesilo menyarankan penerapan teknologi telekomunikasi dan informatika untuk menggalang mitra luar negeri, misalnya menggelar berbagai pertemuan lewat Zoom dengan mitra di mancanegara dengan fasilitasi Kedutaan Besar RI di seluruh Dunia dan Indonesia Trade Promotion Office (ITPO) di mancanegara. 

Profesor Hammam Riza menyarankan dimulainya penggunaan artificial intelligence (AI) dalam pengembangan produk UMKM.  “Desain batik juga sudah mulai menggunakan AI”, timpal Dewan Pengawas CTIS lainnya, Profesor Rahardi Ramelan.  Tidak hanya itu saja, ternyata UKM sudah bisa memasok berbagai produk untuk penanganan bencana, seperti tenda, rumah portable, selimut, makanan siap saji, dll. dan kesemuanya sudah lolos standar Kementerian Koperasi dan UKM. 

Saat Ali memperkenalkan pabrik minyak makan merah hasil pabrik di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang baru diresmikan Presiden Jokowi pada 14 Maret 2024 lalu, anggota CTIS Dr Henki H. menawarkan kerja sama. Selain biji sawitnya dijadikan minyak makan merah, maka tandan sawit kosongnya bisa digunakan untuk membuat arang yang siap diekspor.

Melihat antusiasme peserta diskusi, potensi UKM yang besar ini bisa direalisasikan menjadi produk produk nyata yang mampu mengangkat ekonomi Indonesia, sekaligus membuka lapangan kerja seluas luasnya. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles