Luas perhutanan sosial telah mencapai lebih dari 8 juta hektare dan menjangkau lebih dari 1,3 juta kepala keluarga. Program tersebut juga memberi andil pada upaya pengurangan emisi gas rumah kaca untuk pengendalian perubahan iklim.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mahfudz menjelaskan program perhutanan sosial akan terus digenjot.
“Hingga akhir tahun, pemerintah Indonesia berupaya menambah luasan akses kawasan perhutanan sosial menjadi 8,3 juta hektare, termasuk pengakuan hutan adat,” kata Mahfudz saat diskusi panel bertajuk “The Nexus Opportunity: Social Forestry as an Innovative Strategy to Strengthen the Customary and Local Communities Roles to Enrich Climate Action” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku Azerbaijan, Rabu, 20 November 2024.
Mahfudz mengungkapkan, pemerintah telah menargetkan alokasi perhutanan sosial dapat mencapai 12,7 juta hektare. Menurut dia, perhutanan sosial berhasil mendorong dan memfasilitasi peningkatan akses pengelolaan kawasan hutan bagi masyarakat.
Perhutanan sosial juga berhasil memacu peningkatan kesejahteraan. Mahfudz menyebutkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 14.000 unit usaha perhutanan sosial yang terdiri atas empat klasifikasi antara lain blue atau tahap awal sebanyak 8.109 unit, silver atau tahap pelaksanaan 4.718 unit, gold atau tahap berkelanjutan 1.136 unit, serta platinum atau tahap mandiri 59 unit.
Peningkatan ekonomi kelompok perhutanan sosial juga berdampak pada skala desa dan regional yang ditandai dengan meningkatnya Indeks Desa Mandiri (IDM) pada desa yang memiliki izin perhutanan sosial.
Mahfudz menyebutkan, indeks yang dipantau dari tahun 2016 hingga 2023 menunjukkan adanya penurunan status desa sangat tertinggal dari 2.193 desa menjadi 189 desa. Sementara itu, status desa mandiri meningkat dari 33 desa menjadi 1.803 desa.
Pemerintah melakukan kajian dampak perhutanan sosial di Indonesia bekerja sama dengan beberapa lembaga penelitian diantaranya Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Lampung (Unila), Institut Pertanian Bogor (IPB). Studi menunjukkan, program perhutanan sosial telah berhasil memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat khususnya dalam aspek ekonomi, ekologi, dan sosial yaitu peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, serta perbaikan tutupan lahan.
Lebih lanjut Mahfudz menjelaskan, perhutanan sosial dapat berkontribusi pada penurunan emisi karbon sesuai agenda FOLU Net Sink 2030. Perhutanan sosial diperkirakan dapat berkontribusi pada penurunan emisi sebesar 24,6 juta ton CO2eq atau setara dengan kontribusi 18 persen.
Sementara itu Head of the UN REDD Programme Secretariat Mario Boccucci mengatakan pengembangan pola perhutanan sosial semakin menjadi tren di berbagai belahan dunia. “Fenomena ini juga terjadi di Negara-negara ASEAN termasuk Indonesia,” katanya.
Mario mengatakan, perlunya untuk mengarusutamakan pengembangan perhutanan sosial. Pasalnya, perhutanan sosial tidak hanya berdampak pada kesejahteraan tetapi secara lokal juga kepada kepada masyarakat global dalam konteks penurunan emisi gas rumah kaca.
Mario juga mengatakan pentingnya untuk terus meningkatkan skala kelembagaan dan kapasitas pengelola perhutanan. Selain itu, dia mendorong pengelola perhutanan sosial untuk layak secara bisnis sehingga bisa mengundang investor. Investasi pada perhutanan sosial akan berdampak ganda karena membantu peningkatan kesejahteraan sekaligus pengurangan emisi karbon. ***