Profesor Indroyono Soesilo, peneliti yang lama bekerja untuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkap bagaimana cara yang efektif untuk mengkomersialisasikan hasil riset.
Menurut dia, penting untuk selalu merujuk pada pasar saat riset dilakukan. Jika pasar belum terbentuk bukan berarti riset harus dihentikan, tapi inisiatif untuk menciptakan pasar perlu dilakukan sehingga riset tersebut akhirnya bisa diterima.
Demikian dinyatakan Indroyono saat Diskusi Iptek Voice yang dipandu Dr Wendy Aritenang untuk mengenang almarhum Prof BJ Habibie, secara daring, Minggu 7 Agustus 2022.
“Pak Habibie punya konsep transformasi teknologi Berawal di Akhir dan Berakhir di Awal untuk diterapkan di berbagai jenis industri dengan sasaran memenuhi kebutuhan dalam negeri dan membuka lapangan kerja,” kata dia membuka diskusi.
Indroyono yang telah mencapai puncak karir dan pernah menduduki sejumlah jabatan penting termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, menjelaskan konsep milik BJ Habibie itu juga diterapkan oleh dirinya dengan pendekatan berbeda.
“Saya menerapkan konsep Berawal di Hilir Berakhir di Hulu,” kata Indroyono.
Dia memberi contoh pada implementasi riset dan pengembangan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan GIS (Geography Information System) dimana dirinya sebagai peneliti BPPT terlibat aktif.
“Ini adalah teknologi satelit yang harus Indonesia kuasai mengingat luas wilayah Indonesia dengan 17 ribu pulau yang tersebar,” kata Indroyono.
Dalam prosesnya pengembangan teknologi remote sensing dan GIS di Indonesia dimulai dengan memperkenalkan penggunaannya pada berbagai jenis industri. Di masa lalu satelit yang digunakan masih terbatas pada Landsat-1, yang meluncur tahun 1972, yang dikelola oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Kemudian ditindaklanjuti oleh peneliti-peneliti Indonesia dengan pengembangan aplikasi yang di kemudian hari akan banyak dimanfaatkan oleh banyak entitas.
Pada tahap kedua, semakin banyak industri di tanah air yang memanfaatkan remote sensing dan GIS.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan pengembangan stasiun bumi satelit remote sensing yang dikelola LAPAN. “Jadi citra satelit bisa diterima di Indonesia dan langsung didistribusikan sehingga harganya akan semakin murah, penggunannya pun akan semakin banyak,” katanya.
Pada dekade 1990-an, penggunaan remote sensing dan GIS semakin masif. Termasuk dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan tahun (Karhutla) 1997 dimana Indroyono ditunjuk sebagai ‘komandan’ Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Karhutla.
Pemanfaatan teknologi remote sensing dan GIS juga semakin lebar misalnya pada sektor perikanan untuk memantau pergerakan kapal ilegal maupun areal penangkapan ikan.
Apalagi, sejak tahun 2007 LAPAN sudah mampu membuat micro satelit sendiri yang bisa dimanfatkan oleh pelaku-pelaku industri.
Pada tahap akhir, pemanfaatan teknologi remote sensing dilakukan dengan penguatan regulasi dan undang-undang. Penggunaan teknologi remote sensing dan GIS kini menjadi ketentuan yang diatur pada sejumlah undang-undang
“Misalnya pada Undang-undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, untuk sektor kehutanan ada pasal yang mengatur penggunaan satelit untuk pengukuhan kawasan hutan dan pemetaan tata batas,” kata Indroyono yang saat ini menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Ada juga UU No 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Paris Agreement mengenai Perubahan Iklim. Berdasarkan Undang-undang tersebut Indonesia telah menetapkan target NDC (Nationally Determined Contribution) berupa pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dan FOLU Net Sink 2030.
“Berkaitan dengan aksi mitigasi Kehutanan, utamanya utk kegiatan Monitoring, Reporting, Verification (MRV), perlu menggunakan teknologi satelit remote sensing & GIS,” kata Indroyono.
***