Jumat, 26 Juli 2024

Kebun di Dalam Kawasan Hutan, KLHK: tak Ada Pemutihan

Latest

- Advertisement -spot_img

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan.

Hal ini ditegaskan Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, dalam sosialisasi implementasi UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021 di Polda Riau, Kamis, 15 September 2022.

”Dalam UUCK tidak ada pemutihan dan pengampunan, kita sepakat menyelesaikan terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UUCK di dalam kawasan hutan yang ditandai selesainya proses hukum administrasi. Seperti dalam pasal 110 B UUCK, kawasan yang kita selesaikan tetap akan berstatus kawasan hutan,” jelas Bambang.

Ketua tim Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Implementasi (Satlakwasdal) UUCK ini mengatakan, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.

Namun bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja. Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan izin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut

”Mereka ini nanti akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK. Jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,” tegas Bambang.

Dalam UUCK jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan ijin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan.

”Pasal 110 A dan B hanya mengurusi kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Jadi kalau ada yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UUCK tanpa memiliki perijinan atau persetujuan Menteri, segeralah berhenti karena pasti langsung dikenakan sanksi pidana,” tegas Bambang.

Untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 ha dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, maka pada mereka tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan, bisa dalam bentuk perhutanan sosial dan TORA.

”Untuk sawit yang sudah ada harus melakukan jangka benah dengan tanaman hutan dan diberikan kesempatan satu kali daur. UUCK memberikan kesempatan masyarakat dapatkan akses legalnya, untuk itu masyarakat harus cepat dapat ijin perhutanan sosial agar produktifitas tetap terjaga, begitu juga kawasan hutannya,” kata Bambang.

Perhutanan sosial juga digunakan untuk penyelesaian sawit dalam kawasan HTI. Setelah melalui verifikasi teknis, akan memperoleh akses legal perhutanan sosial dengan skema kemitraan kehutanan dengan pemegang ijin HTI.

”Inilah upaya kita agar kegiatan yang terbangun dalam kawasan hutan seperti masa lalu, tidak terjadi lagi ke depannya. Masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dapat mengelola asalkan ada ijin kehutanan melalui hutan sosial. Banyak skemanya, sehingga masyarakat bisa sejahtera dan fungsi hutan tetap bisa dipertahankan,” jelas Bambang.

Bambang mengajak Polda Riau bersama para pihak, khususnya swasta, termasuk NGO selaku perwakilan publik, memandang UUCK dengan arah pemahaman yang sama. Kepastian hukum menjadi bagian penting dari amanah UU.

Maka proses ke depan melalui UUCK adalah menyiapkan langkah-langkah memberi kepastian hukum. Meliputi kepastian kawasan, kepastian hukum, kepastian usaha, kepastian keberlangsungan usaha, dan kepastian keberlanjutan lingkungan.

”Semua kepastian ini terkandung dalam amanat UUCK, agar semuanya ke depan kembali patuh pada ketentuan yang ada,” kata Bambang.***

More Articles