Dua kapal selam Kelas Whiskey buatan Uni Sovyet, RI Tjakra-401 dan RI-Nanggala-402, resmi bergabung ke dalam Armada RI, 12 September, 1959.
Indonesia, kala itu, menjadi satu-satunya negara di Belahan Bumi Selatan yang memiliki sistem persenjataan kapal selam, lengkap dengan senjata torpedonya dan beberapa juga dilengkapi peluru kendali.
Bergabungnya dua kapal selam tersebut menandai terbentuknya Korps Hiu Kencana.
Menyambut HUT Korps Kapal Selam Hiu Kencana yang ke-63, para mantan awak kapal selam lintas generasi bersama awak kapal selam TNI-AL masa kini berkumpul di Surabaya dalam Sarasehan, yang mengambil tema:”Dengan Semangat Keberanian dan Rela Berkorban Tanpa Batas, SDM Kapal Selam Mewujudkan Kebangkitan Kapal Selam Yang Lebih Kuat, Untuk Siap Membawa Indonesia Maju”, Minggu 11 September 2022.
Hadir dalam acara Saresehan, Mantan KSAL, Laksamana (Purn) Soeparno, Mantan Panglima Armada, Laksda (Purn) Darwanto, Mantan Dirjen PSDKP-Kementerian Kelautan & Perikanan, Dr.Adji Soelarso, Mantan Danjen Akademi TNI, Laksda (Purn) Nyoman Suharta, Komandan Satuan Kapal Selam Koarmada II, Kolonel Laut Widya Poerwandanu beserta para awak kapal selam masa kini dari KRI Cakra-401, KRI Nanggala-403, KRI Ardadedali-404 dan KRI Alugoro-405.
Hadir sebagai narasumber Prof.Dr.Indroyono Soesilo, Mantan Menko Kemaritiman, yang juga Warga Kehormatan Korps Kapal Selam Hiu Kencana, serta Penulis Buku ‘Kapal Selam Indonesia’ tahun 2007 dan 2015, bersama Ir.Budiman.
Kekuatan kapal selam berperan penting dalam sejarah bangsa Indonesia.
Dalam Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat, 1961-1962, kekuatan kapal selam ALRI mencapai 12 buah, kelas Whiskey, dengan tugas menyusupkan pasukan Komando ke daratan Irian Barat, dan dengan senjata torpedonya berupaya mencari lalu menenggelamkan Kapal Induk AL Belanda, Karl Doorman, yang berada di perairan Irian Barat.
Kapal Selam RI Tjandrasa-405 bahkan berhasil menyusupkan pasukan RPKAD ke Pantai Tanah Merah, Papua pada Agustus 1962.
Kehadiran kekuatan Darat, Laut dan Udara TNI, termasuk 12 kapal selam ALRI, berhasil mengggiring pihak Belanda ke meja perundingan, gencatan senjata dicapai, dan akhirnya Irian Barat resmi kembali kepangkuan Ibu Pertiwi melalui mediasi UNTEA, Perserikatan Bangsa Bangsa, pada 1 Mei 1963.
Dalam Sarasehan, beberapa mantan awak kapal selam juga menuturkan pengalaman mereka dikirim ke Perang India-Pakistan, 1965-1966, menggunakan dua kapal selam, RI Nagarangsang-406 dan RI Bramastra-412, membantu pihak Pakistan, serta berupaya untuk pencapaian gencatan senjata dengan pihak India.
Armada Kapal Selam banyak dilibatkan dalam operasi operasi militer rahasia, termasuk Operasi Seroja di Timor Timur dan Operasi Pengamanan Wilayah Perairan Ambalat.
Pada 1981, generasi kapal selam Kelas Whiskey TNI-AL digantikan dengan Kelas U-209 buatan Jerman, lewat kehadiran KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402.
Semangat untuk mandiri dalam pembuatan kapal selam telah dirintis oleh J.Ginagan, seorang Perwira Muda ALRI tamatan Akademi Angkatan Laut Belanda, yang pada tahun 1947 berhasil membangun sebuah kapal selam mini bersenjatakan satu torpedo dan telah diuji coba di Kali Bayem, Yogyakarta.
Perang Kemerdekaan II, 1948, menghentikan upaya membuat kapal selam tadi. Baru pada tahun 2020, 73 tahun kemudian, cita cita J.Ginakan tercapai.
Indonesia berhasil membangun kapal selam sendiri dengan munculnya KRI Alugoro-405 dari galangan PT.PAL Surabaya.
Ini merupakan puncak dari kerjasama Indonesia-Korea dalam pembangunan kapal selam, yang mencakup alih teknologi, pemberian nilai tambah dan peningkatan kandungan lokal serta peningkatan jumlah jam kerja untuk ahli ahli Indonesia.
Program pembangunan kapal selam Kelas Nagapasa ini menempatkan Indonesia menjadi segelintir negara di Dunia yang sudah menguasai teknologi pembangunan kapal selam.
Dalam saresehan ini, para awak kapal selam Hiu Kencana juga tengah bersiap menyambut kehadiran kapal-kapal selam baru jenis Scorpene buatan Perancis yang segera memperkuat Armada RI.
Penggunaaan kapal selam di Indonesia ternyata tidak hanya untuk kemiliteran. Justru orang Indonesia yang pernah menyelam paling dalam di Perairan Nusantara adalah para ilmuwan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang pada tahun 2002 berhasil menyelam hingga kedalaman 2800 meter di Palung Jawa, Selatan Sukabumi, Jawa Barat, menggunakan kapal selam riset Jepang, Shinkai 6500.
Hasil riset para ilmuwan BPPT menemukan biota-biota laut pemakan gas methana, serta ditemukannya kelanjutan jalur Sesar Sumatera, dikenal sebagai mega-thrust, yang diprakirakan dapat memicu gempa bumi besar.
Kesiapan para insinyur BPPT untuk mandiri di bidang pembangunan kapal selam juga diperlihatkan lewat pembuatan rancang-bangun kapal selam mini, sejak 2017 lalu.
Kapal selam yang panjangnya 32 meter, membawa dua peluncur torpedo dengan awak 8 orang, serta mampu mengangkut 4 pasukan komando.
Model kapal selam mini ini sudah di uji-coba di Laboratorium Hidrodinamika BPPT di Surabaya dan di Laboratorium Terowongan Angin BPPT di Puspiptek, Serpong. Manakala Negara memutuskan untuk mandiri dalam pembuatan kapal selam, maka ahli-ahli Indonesia telah siap untuk melaksanakannya.
Di luar semua kecanggihan teknologi kapal selam, tetap yang paling utama adalah awak kapal selam yang bercirikan mental baja, tahan menghadapi tekanan, pantang menyerah dan siap berkorban hingga titik darah penghabisan, sesuai motto:”Tabah Sampai Akhir”. Motto tadi semakin menyentuh dan bermakna saat Para Peserta Saresehan mengenang dan berdoa bagi 53 Pahlawan Kapal Selam KRI Nanggala-402 yang gugur pada 24 April 2021 di dasar laut perairan Selat Madura. Nama-Nama Para Pahlawan tadi telah diabadikan di Monumen KRI Nanggala-402, di Surabaya. ***