Jumat, 26 Juli 2024

Indonesia Manfaatkan Teknologi untuk Pemantauan Hutan, Dukung Pencapaian FOLU Net Sink

Latest

- Advertisement -spot_img

Indonesia memanfaatkan data dan teknologi terbaru untuk kegiatan pemantauan hutan. Mengembangkan Sistem Informasi Pemantauan Hutan Nasional (Simontana) kondisi hutan Indonesia bisa termonitor secara aktual dan presisi di lapangan.

Pemanfataan data dan teknologi tersebut pun menjadi bagian penting dari upaya Indonesia untuk mencapai kondisi dimana tingkat penyerapan gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah seimbang atau lebih besar ketimbang emisinya atau yang dikenal sebagai FOLU Net Sink pada than 2030.

Demikian dijelaskan oleh Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Belinda A Margono saat sesi panel bertajuk “Data and Digital Innovation in Forestry” di the 8th Forest Week yang digelar bersamaan dengan the 26th Session of the Committee on Forestry (COFO26) FAO di Roma Italia, Jumat 7 Oktober 2022, seperti dipantau dari Jakarta.

Turut hadir panel tersebut, pembicara dari Ethiopia, Amerika Serikat, FAO, dan Wagenigen University, Belanda.

Menurut Belinda, Indonesia mulai mengembangkan sistem pemantauan hutan dengan memanfaatkan teknologi satelit sekitar 30 tahun lalu.

Ketika itu data penginderaan jauh (remote sensing) yang menggunakan satelit dikombinasikan dengan data pemantau laangan di plot-plot yang sudah ditentukan.

“FAO juga memberikan dukungan kepada kami dalam mengembangkan prototipe sistem ini,” katanya.

Saat ini, Belinda, Pemerintah Indonesia sudah mengembangkan sistem informasi pemantauan hutan secara mandiri yang dikenal sebagai Simontana. Sistem ini akan mendukung aksi-aksi mitigasi dalam agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Belinda menjelaskan, dalam mengumpulkan data pemantauan hutan, KLHK bekerja sama dan berkolaborasi dengan beragai pihak baik dengan antara kementerian/lembaga di dalam negeri maupun dengan organisasi internasional.

Hasilnya adalah 23 kelas penutupan lahan yang dipublikasikan setiap tahun.

Lebih lanjut Belinda menjelaskan, pada awalnya data pemantauan hutan dihasilkan setiap 6-4 tahun sekali, lalu meningkat menjadi setiap 3 tahun sekali, dan kini data bisa dihasilkan setiap tahun dengan lebih akurat.

“Kami terus memperbaiki data pemantauan dengan memanfaatkan teknologi. Kini kami bahkan sudah memanfaatkan inovasi perangkat de-vegetasi, yang akan memberi peringatan potensi adanya deforestasi,” katanya.

Menurut Belinda, di masa lalu laju deforestasi tercatat sangat tinggi. Hal itu bisa disebabkan karena memang kondisinya seperti itu dan teknologi pemantauannya belum cukup handal.

“Setelah tahun 2000-an setelah ada pemanfaatan teknologi, laju deforestasi terpantau lebih baik karena teknologi sudah lebih handal untuk menyediakan informasi yang tepat,” katanya.

Berdasarkan data KLHK, laju deforestasi pada tahun 1996-2000 laju deforestasi pernah tercatat hingga 3,5 juta hektare per tahun.

Laju deforestasi kemudian terpantau menurun seiring dengan teknologi yang semakin reliabel.

Data terakhir menunjukkan laju deforestasi Indonesia di periode tahun 2019-2020 sebesar 115,46 ribu hektare.

Belinda juga mengungkapkan, data lain yang dihasilkan dari pemantauan hutan diantaranya adalah volume tegakan pohon (standing stcok) dan volume biomassa hutan (standing biomass).

Dia mengatakan, pemerintah Indonesia terus meningkatkan akurasi data dengan bekerja sama dengan berbagai pihak.

Lebih lanjut Belinda mengatakan, saat KLHK juga sudah mengembangkan Sistem Informasi Geospasial (Sigap) yang menyediakan informasi geospasial tematik (IGT) yang akan dimanfaatkan kegiatan perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan, serta pemantauan antara lain kawasan hutan, penutupan lahan, dan kegiatan lainnya di tingkat nasional maupun sub-nasional. ***

More Articles