Rabu, 16 Oktober 2024

Heroiknya Pertempuran Pasukan Taruna Akademi Militer Yogyakarta di Pracimantoro Menghadapi Pemberontak PKI-Muso 1948

Latest

- Advertisement -spot_img

September 1948, kota Solo-Madiun bergolak. Pada awal September 1948, terjadi gerakan anti Perjanjian Renville 1948 di bawah pimpian Ketua Partai Sosialis Amir Syarifuddin yang berhaluan kiri, terhadap Pemerintah RI yang sah. Gerakan ini didukung satuan TNI Pro Partai Sosialis yang dikenal berhaluan sosialis-komunis.

Suasana Kota Solo mencekam, agitasi partai yang berhaluan sosialis-komunis terjadi. Culik-menculik juga muncul dan pimpinan pasukan pro Sosialis-Komunis terbunuh.
Mereka menuduh pasukan Siliwangi yang sedang hijrah di Jawa Tengah, sebagai pembunuhmya. Gerakan ini diperkuat dengan bergabungnya Kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin Muso.

Pada 18 September 1948, satuan Brigade 29 yang merupakan satuan pemberontak, dipimpin Letkol Dahlan, dan satuan Pesindo yang dipimpin Sumarsono, merebut dan menguasai Kota Madiun, sekaligus mendeklarasikan “Pemerintahan Front Nasional”. Jelas, ini merupakan upaya kudeta merebut kekuasaan dari Pemerintah RI yang sah.

Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno mendeklarasikan, “Ikut PKI Muso atau Ikut Soekarno – Hatta… !!?”. Sang Presiden ini langsung memberikan perintah kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk, ”Rebut Kembali Madiun..!”.

Pimpinan TNI, yaitu Jenderal AH Nasution dan Jenderal Gatot Soebroto, langsung mengerahkan satuan Siliwangi yang baru hijrah dari Jawa Barat, ke Yogya dan Solo guna mematuhi Keputusan Perjanjian Renville, Januari 1948.

Satuan Siliwangi yang bisa diandalkan ini masuk dalam Kesatuan Reserve Umum (KRU) TNI, yang dijamin loyal kepada NKRI. Pasukan Siliwangi dari Brigade Letkol Sadikin bergerak dari Yogyakarta ke arah Timur berkekuatan Batalyon Achmad Wiranatakusumah dan Batalyon Sambas. Lalu ada juga Batalyon Sentot dan Batalyon Umar Wirahadikusumah, sedang yang bertempur di wilayah paling selatan adalah Batalyon Nasuhi.

Kekuatan Brigade Sadikin dinilai kurang cukup untuk menghadapi Pasukan Pemberontak yang berkekuatan 5.000 orang. Apalagi, satuan Siliwangi dari Brigade Kusno Utomo, dengan kekuatan Batalyon Kemal Idris dan Batalyon Kosasih harus mengamankan Surakarta, Pati dan Semarang.

Karena Satuan TNI yang tersedia jumlahnya terbatas dan sebagian besar juga ditugasi untuk menjaga ibukota Yogyakarta, maka Jenderal Gatot Subroto menugasi tiga Kompi Pasukan Akademi Militer Yogyakarta (MA Yogya) untuk bergabung kedalam KRU. Dua kompi bergabung dengan Batalyon Nasuhi dari Siliwangi dan satu kompi bergabung dengan Batalyon Sambas, juga dari Siliwangi.

Kompi U MA-Yogya bergerak dari Yogyakarta ke Wonosari-Pracimantoro-Pacitan. Tugas mereka menghambat gerakan pasukan pemberontak agar tidak masuk ke Ibukota Yogyakarta dan menggiring mereka ke Selatan untuk kemudian dihancurkan di Pacitan.

Sedang Kompi S MA-Yogya, bergerak dari Yogyakarta ke Wonogiri-Tirtomoyo-Karanggede-Pacitan. Kompi yang ketiga, Kompi R, dipimpin Sersan Mayor Kadet Hariadji yang saat itu sedang berlatih di Sarangan, Jawa Timur, ditugaskan untuk bergabung dengan Batalyon Sambas, bergerak dari Tawang Mangu-Sarangan-Gorang Gareng dan masuk ke Kota Madiun.

Pasukan Akademi Militer Yogya yang seluruhnya masih berstatus kadet/taruna MA-Yogya bertempur habis-habisan melawan gerombolan Pasukan Merah ini. Kompi Taruna yang dipimpin Sersan Mayor Kadet Hariadji menyaksikan kebiadaban gerombolan pasukan PKI-Muso, saat di Pabrik Gula Gorang-Gareng, dekat Madiun. Di situ Pasukan PKI menyekap 40-an anggota Polisi dan kemudian memberondong semuanya hingga gugur, kecuali seorang Sersan Polisi bernama Musiran.

Lokasi Pembantaian ditemukan Kompi Lukas dari Batalyon Sambas/Siliwangi, bersama Regu III Kompi R Pasukan MA-Yogya. Saksi-mata, diantaranya, adalah Sersan Mayor Kadet Muslimin.

Di Pracimantoro, Wonogiri, Kompi U MA-Yogya, di bawah komando Batalyon Nasuhi bertugas merebut dan mengamankan Kecamatan yang strategis ini, karena Pracimantoro menghubungkan Kota Yogyakarta, Solo dan Pacitan.

Pada 4 Oktober 1948, satu peleton Kompi U MA-Yogya bergerak ke Selatan Pracimantoro, kearah Baran, untuk berpatroli. Sekitar 2 Kilometer Selatan Pracimantoro, di tepi Telaga Timbang, terjadi tembak-menembak yang hebat antara pasukan MA Yogya dengan Pasukan Pemberontak PKI-Muso yang berkekuatan lebih besar. Korban berjatuhan, termasuk korban dari Pasukan MA Yogya.

Hari itu gugur Vaandrig Kadet Hardo Sumeru dan Vaandrig Kadet Anto Sugiarto. Sedang Vaandrig Kadet Harsoyo luka parah, tergeletak dan dianggap gugur. Masyarakat sekitar segera mengangkat dan memakamkan para taruna MA Yogya yang gugur tadi.

Mereka terkejut bahwa salah satu kadet yang kepalanya berlumuran darah, ternyata masih hidup. Ia adalah Vaandrig Kadet Harsoyo. Ia lalu dirawat oleh masyarakat dan membawanya ke Wuryantoro. Kadet Harsoyo berumur panjang, setelah menjadi perwira TNI ia bergabung dengan Korps Artileri TNI-AD dan berhasil meraih pangkat Mayor Jenderal TNI.

Pada Tahun 1958, semua Taruna MA Yogya yang ikut operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun 1948 dianugerahi penghargaan Satya Lancana Gerakan Operasi Militer 1 (GOM-1) dari Perdana Menteri RI, Ir. H. Djuanda. Nama Hardo Sumeru diabadikan sebagai nama Laboratorium Fisika di Ksatrian Akademi Militer (Akmil) Magelang, sedang nama Anto Soegiarto diabadikan sebagai nama Laboratorium Elektronika di Akmil Magelang.

Pada 23 September 2024, 76 tahun setelah peristiwa tadi, para pegiat sejarah dari Ikatan Keluarga Akademi Militer Yogya (IKAM-Yogya), “napak tilas” ke daerah pertempuran Selatan Pracimantoro. Ditemani Komandan Komando Rayon Militer – 13/Pracimantoro, Kapten Budi Rahardjo beserta jajaran, bersama Camat Pracimantoro, Warsito.

Mereka mengunjungi Monumen Pertempuran di tepi telaga Timbang, menyusuri jalan Hardo Sumeru dan jalan Anto Soegiarto, juga bertemu dengan para saksi sejarah yang menyaksikan pertempuran hebat tadi.

Para peserta “napak tilas” bersyukur dan mengucapkan terimakasih kepada penduduk Pracimantoro, yang pada 76 tahun lampau membantu, menyediakan logistik dan mendukung gerakan operasi militer MA-Yogya di wilayah ini. Semua sepakat untuk melestarikan Monumen Pertempuran MA Yogya di Pracimantoro ini untuk tinggalan kepada anak-cucu generasi penerus. Tak terbantahkan bahwa: “TNI Lahir Dari Rakyat, Hidup Bersama Rakyat dan Hanya Mengabdi Untuk Rakyat”. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles