Jumat, 26 Juli 2024

Aksi Kolaborasi Dibutuhkan dalam Pengelolaan Lahan Basah Berkelanjutan

Latest

- Advertisement -spot_img

Aksi kolaborasi yang melibatkan seluruh aktor diperlukan untuk melindungi dan mengelola lahan basah seperti mangrove dan gambut.

Pengelolaan lahan basah berkelanjutan diperlukan sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Dirjen Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro dalam sambutannya mengatakan isu pengelolaan lahan basah semakin menjadi perhatian dunia.

“Pada pertemuan tingkat Menteri G20, isu lahan basah juga menjadi pembahasan,” kata dia dalam sambutan membuka diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP27 UNFCCC di Sharm El Sheikh, Mesir, Senin, 14 November 2022.

Sigit, dalam sambutan yang dibacakan oleh Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK SPM Budisusanti mengatakan, adanya kerja sama di tingkat global adalah modalitas untuk terus mendorong pengelolaan lahan basah berkelanjutan.

Menurut dia, semua pihak bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam pengelolaan lahan basah. Salah satu pengalaman dan pengetahuan yang bisa dibagikan Indonesia adalah dalam pengelolan lahan gambut.

Indonesia telah berhasil merestorasi lahan gambut seluas 3,7 juta hektar di tahun 2022 dengan melibatkan pemilik konsesi dan juga masyarakat dengan program Desa Peduli Gambut.

Kepala Subdit Pelestarian Ekosistem Gambut M Asykari menjelaskan pemerintah telah memiliki sejumlah kebijakan untuk mendorong pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Dari sisi regulasi telah ada Peraturan Pemerintah (PP) No 71 tahun 2014 yang diperbarui dengan PP 57 tahun 2016 dan peraturan pelaksananya yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut.

Berdasarkan ketentuan tersebut lahan gambut yang mengalami degradasi harus direstorasi. Aksi restorasi yang dilakukan diantaranya dengan membuat sekat kanal untuk menaikkan tinggi muka air gambut, pembuatan stasiun pemantau air tanah, dan penanaman di areal bekas kebakaran.

“Restorasi yang dilakukan berdampak langsung pada pengurangan emisi gas rumah kaca,” katanya.

Dari perhitungan yang dilakukan, restorasi gambut yang telah dilaksanakan di areal seluas 3,6 juta hektare di areal konsesi dan seluas 49.874 hektare di lahan masyarakat berhasil menurunkan emisi GRK sebanyak 271 juta ton setara karbon dioksida (CO2e).

Sementara itu Deputy Director of Corporate Strategy & Relations APP Sinar Mas, Iwan Setiawan menegaskan kesiapan pihaknya untuk berkolaborasi dalam pengelolaan lahan basah.

“Kami berkomitmen untuk terus melakukan upaya perbaikan yang berkelanjutan dan menggunakan teknologi dalam melakukan praktik terbaik dalam kelola tata air, yang bisa menunjang pencapaian target yang sudah ditetapkan,” kata Iwan.

Dia menekankan pentingnya pelibatan para ahli dan mencari solusi berbasis data science yang kredibel dalam pengelolaan lahan basah. Hal ini, menurut Iwan, penting untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan juga berperan penting dalam pengelolaan lahan gambut secara aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan dengan cara yang positif bagi masyarakat maupun bumi.

Untuk itu, APP Sinar Mas menjalin sejumlah kerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian pemerintah maupun perguruan tinggi.

Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Alam Indonesia Herlina Hartanto juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam pengelolaan lahan basah.

Dia mengatakan pengelolaan lahan basah seperti mangrove tidak bisa dilakukan sendirian apalagi biaya yang dibutuhkan sangat besar.

Herlina menuturkan untuk mendorong pengelolaan mangrove berkelanjutan, YKAN telah meluncurkan Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA), sebuah platform untuk mendorong sinergi dalam penyelamatan dan konservasi mangrove.

APP Sinar Mas adalah salah satu perusahaan yang ikut tergabung dalam inisiatif tersebut. ****

More Articles