Pengelolaan sumber daya lahan gambut membutuhkan keterlibatan kolektif multi pihak termasuk masyarakat dan pelaku usaha untuk mempertahankan fungsi ekologisnya.
“Melindungi dan merestorasi lahan gambut bukan hanya sekadar prioritas, tetapi juga mendesak yang memerlukan tindakan terkoordinasi lintas sektor secara kolektif,” kata Penanggung Jawab Operasional International Tropical Peatland Centre (ITPC) Agus Justianto saat memberikan pidato kunci pada pembukaan diskusi bertajuk “Capacity Building and Stakeholder Engagement in Promoting Sustainable Management and Restoration of Tropical Peatlands” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim COP29 UNFCCC, di Baku, Azerbaijan, Selasa, 12 November 2024.
ITPC didirikan pada tahun 2018 dimana Indonesia menjadi salah satu pionirnya. Indonesia juga menjadi tuan rumah untuk Sekretariat ITPC. Saat ini ITPC terus mendapat dukungan Internasional dan sejumlah Negara secara resmi juga turut bergabung.
Pada kesempatan itu Agus kembali mengingatkan bahwa gambut adalah ekosistem yang tak ternilai harganya karena menyimpan karbon dalam jumlah besar, rumah bagi keanekaragaman hayati, dan menyangga kehidupan masyarakat.
Meski demikian, lahan gambut juga sangat rentan dan menghadapi tekanan deforestasi, pengeringan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan.
Agus menekankan tentang perlunya keterlibatan kolektif dari berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan terpadu dan sinergis. Ini mencakup program pengembangan kapasitas yang membekali pemerintah daerah dan masyarakat dengan pengetahuan dan perangkat untuk mempraktikkan pengelolaan lahan berkelanjutan.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengelolaan, dan disediakan dukungan untuk mata pencaharian berkelanjutan, misalnya melalui agroforestry atau ekowisata.
Sektor swasta juga memainkan peran transformatif dengan mengadopsi dan mempromosikan praktik berkelanjutan untuk kepentingan pertanian, kehutanan, atau pemanfaatan lahan lainnya. “Melalui kemitraan publik-swasta, kita dapat memanfaatkan inovasi, sumber daya, dan keahlian dari sektor-sektor ini,” katanya.
Koordinator Nasional untuk Gambut Republik Demokratik Kongo (RDK) Jean Jacques Bambuta Boole mengungkapkan RDK bersama Republik Kongo memiliki potensi gambut yang sangat besar. Dia mengatakan, tantangan yang dihadapi diantaranya adalah tentang pengetahuan dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. RDK berharap mendapat banyak pembelajaran pengelolaan lahan gambut dari Indonesia.
Iwan Setiawan, Deputy Director of Corporate Strategic & Relations APP Group menjelaskan, pendekatan APP Group dalam pengelolaan lahan gambut melibatkan berbagai metode komprehensif, seperti survei lapangan dan pemantauan menggunakan teknologi LiDAR, yang telah mencakup lebih dari 4,5 juta hektar lahan gambut di Sumatra.
Metode ini memungkinkan pemetaan topografi lahan gambut secara landscape, yang sangat penting dalam menentukan zonasi yang ideal untuk pengelolaan lahan gambut.
“Pengelolaan lahan gambut tidak bisa dilakukan secara parsial. Kami yakin pendekatan berbasis lanskap dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan adalah kunci keberhasilan pelestarian ekosistem ini,” ujar Iwan Setiawan.
Melalui pendekatan holistik ini, APP Group dapat menghadapi tantangan yang beragam di tiap zona lanskap, menjaga level air optimal di berbagai area, serta mengurangi risiko kebakaran, terutama di wilayah-wilayah kritis seperti puncak kubah gambut.
Dalam mewujudkan upaya konservasi gambut yang berkelanjutan, APP Group berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk institusi penelitian dan akademisi, baik lokal maupun internasional.
Melalui kerja sama ini, APP Group mengembangkan solusi berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman lapangan untuk memulihkan lahan gambut yang terdegradasi.
Hingga akhir 2023, APP Group menargetkan pemulihan lebih dari 38.000 hektar lahan gambut melalui program-program berbasis kolaborasi, dengan harapan menciptakan dampak positif yang luas bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Sementara itu peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Mudiyarso mengatakan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan gambut tropis berbeda-beda antara satu lokasi dengan lainnya. “Lahan gambut di Afrika Tengah dan Amerika Selatan tidak mengalami ancaman pengeringan,” katanya.
Daniel mengingatkan pentingnya peran gambut dalam pengendalian perubahan iklim. “Lahan gambut hanya sekitar 3% dari seluruh daratan di dunia, tetapi berkontribusi sebesar 44% dari seluruh cadangan karbon di tanah,” katanya. ****