Kamis, 17 Oktober 2024

Pendanaan NCQG dan Operasionalisasi Article 6 Paris Agreement Jadi Prioritas Pembahasan pada COP29 UNFCCC

Latest

- Advertisement -spot_img

Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim COP29 UNFCCC akan digelar di di Baku, Azerbaijan, pada 11-22 November 2024.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat Kick Off Meeting Persiapan Delegasi Indonesia mengungkapkan akan ada dua isu prioritas yang ingin dicapai pada COP29 UNFCCC.

Pertama tentang New Collective Quantified Goal (NCQG) dan kedua tentang operasionalisasi Article 6 Paris Agreement yang mengatur tentang kerja sama melalui pasar maupun non pasar.

NCQG merupakan target kolektif terkunatifikasi yang baru terkait pendanaan iklim yang beranjak dari basis 100 miliar dolar AS/tahun. Adapun tiga poin pembahasan terkait NCQG adalah besaran jumlah, Kontributor atau penyumbang dana, dan perlu tidaknya Loss and Damage direfleksikan ke dalam NCQG.

“Indonesia menyerukan agar Para Pihak bercermin pada pengalaman dan tidak mengulang kesalahan yang sama dalam mewujudkan aliran pendanaan kepada negara berkembang sebesar US$ 100 miliar/tahun yang seharusnya telah terwujud sejak tahun 2020,” katanya di Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2024.

Sementara soal operasionalisasi Article 6 Paris 6, Menteri LHK mengungkapkan, bahwa hal-hal yang masih divergent antara lain mengenai authorization, agreed electronic format, dan registries dimana hal-hal tersebut memang bersifat teknis.

Menurut Menteri, Presidensi COP29 menekankan pentingnya Para Pihak dan kelompok-kelompok negosiasi internasional untuk menunjukkan sikap konstruktif dalam hal-hal yang tidak disetujui.

Pada kesempatan itu, Menteri Siti berpesan agar negosiator Indonesia dapat memperoleh gambaran lansekap utama negosiasi di COP29 dan sekaligus dapat mencermati lebih mendalam terhadap perkembangan yang terjadi selama periode inter-sessional menjelang COP29, serta mencari celah dan peluang untuk menempatkan Indonesia pada posisi yang terbaik berdasarkan kepentingan nasional Indonesia.

Pada kesempatan itu, Menteri Siti juga menjelaskan, Indonesia telah menunjukan leading by example dalam ambisi menurunkan emisi karbon dan telah diakui dunia internasional sebagai negara super power dalam pengendalian perubahan iklim.

Diantaranya adalah melalui peningkatan target reduksi emisi GRK dari 29% menjadi 31,89% melalui pendanaan nasional, dan hingga 41% menjadi 43,20% melalui dukungan internasional.

Kedua, Indonesia telah memiliki kebijakan perencanaan meliputi FOLU Net-sink 2030, Long Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dan visi Net Zero Emission 2060 atau lebih cepat.

Ketiga Indonesia juga telah memiliki regulasi atau dasar hukum dan kelembagaan penyelenggaraan NDC dan implementasi Article 6 of the Paris Agreement berupa Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.

Keempat Indonesia juga telah memiliki beberapa infrastruktur untuk implementasi kerangka transparansi meliputi Sistem Inventarisasi GRK Nasional SIGN-SMART, Sistem Registri Nasional dan MRV, dan Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK).

_________

Selain itu Indonesia juga telah memiliki Bursa Karbon, Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon, dan FOLU Operation and Collaboration Center (FOLU COLL) yang menjadi pusat kendali operasional FOLU Net Sink.

“Ini tidak main-main kita kerja keras betul, Jadi Indonesia sangat serius dalam upaya pengendalian perubahan iklim,” tegas Menteri Siti. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles