Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengapresiasi peran Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) untuk mendukung percepatan reorientasi bisnis baru sektor kehutanan.
Menurut Menteri LHK, bisnis kehutanan kini tidak lagi hanya fokus pada produk kayu tapi pada pengelolaan bentang alam untuk menuju hutan lestari.
“Pada kondisi sekarang telah kita rasakan dan kita jalani bersama perubahan-perubahan dengan aktualisasi pergeseran paradigma dari Timber management menuju forest landscape management yang berimplikasi pada tata bisnis perusahaan,” ujar Menteri Siti saat pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) APHI Tahun 2021, Selasa, 7 Desember 2021.
Hadir juga baik secara luring dan daring dalam pembukaan Munas APHI 2021, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Sekretaris Jenderal KLHK, Direktur Jenderal PHL KLHK, Perwakilan Kementerian Perindustrian, Perwakilan Kementerian Perdagangan, serta para Pimpinan Perusahaan sektor Kehutanan di Indonesia
Menteri Siti menyatakan bahwa ke depan Pemerintah masih memerlukan dukungan untuk mewujudkan reorientasi bisnis baru sektor kehutanan, sehingga pelaku usaha dapat berkontribusi optimal dalam pembangunan kehutanan terutama pasca terbitnya UU No.11/2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK).
Menyinggung terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang hasil uji materil UUCK, Menteri Siti meminta dunia usaha khusus di sektor kehutanan agar tidak perlu risau.
Pasalnya Presiden telah menyatakan UUCK dan semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku dalam jangka waktu dua tahun ke depan sambil Pemerintah dan DPR melakukan perbaikan sesuai putusan MK tersebut.
“Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) tetap jalan terus sesuai semangat multiusaha kehutanan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan kawasan hutan dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung, serta aspek kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan,” jelas Menteri Siti.
Menteri Siti melanjutkan jika masih banyak tantangan kita ke depan dalam mendukung optimalisasi pemanfaatan kawasan hutan sesuai apa yang diamanatkan dalam peraturan perundangan.
Untuk itu dia sangat berharap dunia usaha kehutanan dapat bekerja bersama-sama untuk berkontribusi bagi pemulihan ekonomi nasional dibawah kepemimpinan langsung Presiden Jokowi.
Kerja sama yang terjalin baik antara Pemerintah dan dunia usaha di sektor kehutanan telah mampu menghasilkan capaian-capaian terbaik, seperti angka deforestasi tahun 2020 menjadi yang terendah sepanjang sejarah, kejadian karhutla pun dapat ditekan sangat rendah pada periode tahun 2019–2020, serta tetap meningkatnya kinerja sub sektor kehutanan di tengah kondisi Pandemi Covid 19 yaitu meliputi produksi kayu bulat, kayu olahan, HHBK, dan nilai ekspor produk kehutanan.
Nilai ekspor produk kehutanan secara akumulatif dibanding tahun 2020 lalu meningkat mencapai 21,43 persen, dimana hingga pada kuartal keempat Tahun 2020, yaitu: 11,05 juta dolar AS, menjadi 13,42 juta dolar AS pada awal kuartal keempat Tahun 2021.
Sementara, produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada kuartal keempat Tahun 2020, yaitu 130 ribu ton, dan kuartal keempat tahun 2021 yaitu 192 ribu ton, secara akumulatif meningkat 47,60 persen.
Selanjutnya ke depan dunia usaha sektor kehutanan diajak untuk mendukung kebijakan pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi Covid-19 melalui strategi yang telah disusun Pemerintah dalam hal ini KLHK, yang meliputi menjaga produktivitas dan keberlangsungan usaha melalui penguatan insentif kebijakan fiskal, percepatan implementasi UUCK dan turunannya, meningkatkan peran dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan berbasis agroforestry dalam rangka peningkatan produktifitas hutan, dan meningkatkan pelayanan pemanfaatan hutan berbasis digital yang terintegrasi mulai dari Perizinan (OSS), Perencanaan (SI-RPHJP), Produksi dan Pelaporan PBPH (SI-CAKAP), Pembayaran PNBP (SI-PNBP), Peredaran Hasil Hutan (SI-PUHH), Pemasaran hingga Ekspor (SILK) yang terintegrasi dalam satu sistem SATU DATA PHPL.
Pemerintah pun meminta dunia usaha dapat mengatasi tantangan ke depan, seperti implementasi ekonomi hijau, serta tata kelola bentang alam sebagai antisipasi dan solusi terjadinya disharmoni antara pemanfaatan dan daya dukung sumberdaya.
“Pendekatan bentang alam berbasis DAS dapat digunakan dalam kalkulasi orkestrasi secara berdayaguna, karena hubungan kausalitasnya jelas dan terukur dan dapat digunakan untuk membangun pemahaman dan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam internalisasi prinsip-prinsip ekonomi hijau kedalam program pembangunan wilayah dan dinamika penghidupan masyarakat. Secara operasional KLHK telah membangunnya dalam bentuk produk perencanaan yakni Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, jelas Menteri Siti.
Terakhir Menteri Siti meminta dunia usaha sektor kehutanan dapat mengakselerasi aksi penurunan emisi gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.
Melalui visi yang disampaikan di dokumen tersebut, Indonesia akan meningkatkan ambisi pengurangan GRK melalui pencapaian puncak emisi GRK nasional tahun 2030, dimana sektor-sektor Forestry and Other Land Use (FoLU) sudah mencapai kondisi net sink, dengan capaian 540 Megaton CO2 ekuivalen pada tahun 2050, dan dengan mengeksplorasi peluang untuk mencapai progres lebih cepat menuju emisi net-sink dari seluruh sektor pada tahun 2060.
Diproyeksikan sektor FoLU akan berkontribusi hampir 60% dari total target penurunan emisi gas rumah kaca yang ingin diraih oleh Indonesia.
Untuk mengimplementasikan skenario dimaksud, terutama menuju net sink di tahun 2030, diperlukan sumber daya yang sangat besar, yang memerlukan dukungan dan kerjasama dari para pihak, baik lintas Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat, dan lainnya.
Sementara itu Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan anggota APHI akan terus berkomitmen mendukung program pemerintah.
APHI juga mendorong anggotanya dan juga pemerintah untuk membantu mengkonfigurasikan ekosistem bisnis baru kehutanan yang berdaya saing dan berkelanjutan terutama pasca terbitnya UUCK.
Indroyono pun mengungkapkan masih banyaknya potensi hasil hutan Indonesia yang belum terkelola dengan baik. “Baru 5% potensi yang dimanfaatkan, artinya masih 95% lagi potensi yang belum dimanfaatkan secara terencana,” ujarnya.
Ia menyebutkan reorientasi menuju bisnis baru kehutanan salah satunya dilakukan dengan pemanfaatan ruang, bukan hanya kayu. Dengan reorientasi ini maka jasa-jasa ekosistem hutan dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya yang saat ini didukung secara kebijakan oleh pemerintah melalui multi usaha kehutanan.***