Mengoptimalkan potensi pasar di dalam negeri bisa menjadi opsi keluar dari awan gelap resesi ekonomi global yang menggelayuti Indonesia tahun 2023 mendatang.
Ekonomi global diprediksi penuh tantangan di tahun 2023. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menyebut kondisi ekonomi global tahun 2023 bakal ‘gelap’. Dari dalam negeri, peringatan prediksi serupa juga diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kondisi tersebut dipicu oleh akumulasi beberapa fenomena global. Mulai dari dampak pandemi Covid-19, konflik Rusia-Ukraina, naiknya harga komoditas pangan dan energi, serta resesi keuangan di berbagai negara.
Hal ini tentu saja perlu diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan sehingga Indonesia bisa keluar dari ancaman badai dengan selamat.
Pakar ekonomi INDEF Didik J Rachbini menilai Indonesia sesungguhnya cukup kuat untuk menghadapi krisis. Terlihat dari perekonomian Indonesia yang terus tumbuh dengan inflasi yang terjaga.
“Pengalaman menghadapi ancaman krisis sejak tahun 2018-2021 menunjukkan pemerintah cukup piawai menghadapi ancaman krisis,” kata Didik pada webinar saat Pembukaan Rapat Kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Selasa, 6 desember 2022.
Soal awan gelap perekonomian global yang mengancam, Didik mengatakan perlunya melihat lagi dampak pasar global terhadap perekonomian dalam negeri. Menurut dia, Indonesia bukanlah Malaysia dan Singapura yang sebagian besar ekonominya bergantung pada pasar global.
“Singapura itu 200 persen ekonominya bergantung pada ekspor. Kalau Indonesia hanya 20-25 persen saja,” kata Didik.
Oleh sebab itu Didik menilai, kekhawatiran terhadap awan gelap resesi global tahun 2023 harus disikapi dengan tidak berlebihan. Apalagi, pasar dalam negeri ternyata berkontribusi besar dan masih bisa dieksplorasi.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan saat ini memang waktu yang tepat untuk melirik pasar dalam negeri selain tetap menjaga kinerja di pasar ekspor. “Ternyata pasar dalam negeri juga menjanjikan,” katanya.
Sebagai gambaran, berdasarkan data KLHK yang diolah APHI, ekspor produk kehutanan pada tahun 2021 sebesar 13,56 miliar dolar AS yang merupakan tertinggi sepanjang sejarah. Untuk tahun 2022, ekspor hingga Oktober sebesar 12,02 miliar dolar AS.
Ekspor ditopang komoditas kertas dengan nilai 3,55 miliar dolar AS, pulp (2,60 miliar dolar AS), panel kayu (2,38 miliar dolar AS), furniture (1,66 miliar dolar AS), dan kayu pertukangan (969,08 juta dolar AS).
Jika dibandingkan secara year on year, catatan ekspor hingga Oktober 2022 mengalami kenaikan sebesar 9,8%. Jadi jika tidak ada guncangan hebat, ekspor tahun ini bisa menyamai catatan tahun lalu bahkan tembus 14 miliar dolar AS.
Valuasi pasar dalam negeri memang belum ada hitungannya. Meski demikian, Indroyono optimis, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa maka pasar dalam negeri Indonesia sesungguhnya menyimpan potensi besar.
Indroyono menyatakan untuk memperkuat pasar di dalam negeri perlu kebijakan yang tepat. Salah satunya adalah kebijakan untuk penggunaan kayu bersertifikat Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) di dalam negeri.
“Kebijakan penggunaan produk kayu ber-SVLK untuk kegiatan yang didanai pemerintah melalui APBN agar bisa diterapkan,” kata Indroyono.
Untuk mendukung pembelian produk kayu yang ber-SVLK. Pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan Peraturan Menteri LHK No P.5 tahun 2019 tentang Tata Cara Penerapan Label Ramah Lingkungan Hidup untuk Pengadaan Barang dan Jasa Ramah Lingkungan Hidup.
Pada awalnya, produk kehutanan yang diatur dalam ketentuan itu baru mencakup kertas dan furnitur. Kini ada tambahan produk yang termasuk dalam kebijakan itu yaitu kayu olahan.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto menyatakan telah diterbitkan Keputusan MenLHK Nomor SK.1207 tahun 2021 tentang Penambahan Daftar Rujukan Barang dan Jasa Ramah Lingkungan Hidup untuk Pengadaan Barang dan Jasa Ramah Lingkungan Hidup.
“Berdasarkan ketentuan itu ada penambahan komoditas kayu olahan untuk konstruksi,” katanya.
Agus menekankan, penambahan kayu olahan dalam ketentuan tentang pengadaan barang dan jasa diharapkan bisa membuat pasar domestik Indonesia diisi oleh produk karya anak bangsa.
Selain kebijakan soal pembelian pemerintah, menurut Agus, KLHK telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan daya tahan industri kehutanan terhadap ancaman resesi.
Diantaranya adalah mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan revisi itu nantinya, Dana Reboisasi bisa dibayar dengan Rupiah.
KLHK juga akan mendorong untuk tarif PBB ditetapkan dalam satu harga yang berlaku secara nasional.
Kebijakan lain yang diterapkan adalah kemudahan kepada pelaku usaha untuk melaksanakan diversifikasi barang dan jasa melalui multi usaha kehutanan tanpa melakukan penyesuaian dokumen lingkungan bagi kegiatan multiusaha yang bersifat menambah kegiatan pokoknya, dengan ketentuan tidak mengubah bentang alam, tidak menurunkan tutupan hutan alami, kegiatan usaha untuk pemulihan lingkungan serta agroforestry pola kemitraan kehutanan.
Agus mengakui, untuk penerapan Multi Usaha Kehutanan skala besar, saat ini masih dihadapkan pada kendala penyesuaian dokumen lingkungan.
Untuk itu perlu terobosan kebijakan diantaranya pencermatan ulang terhadap penyesuaian dokumen lingkungan khususnya PBPH eksisting dalam konteks percepatan pelaksanaan PBPH Multi Usaha Kehutanan dan sinergitas antar Lembaga untuk mendorong terwujudnya konfigurasi baru bisnis kehutanan dengan mengedepankan peran masyarakat dan UKM (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial KUPS).
Agus juga berharap peran APHI dalam strategi penyesuaian dokumen lingkungan sehingga implementasi multi usaha kehutanan bisa segera terwujud dan sektor kehutanan kembali bergairah dengan mengoptimalkan produktivitas hutan. ***