Dari segi sains dan teknologi kelautan, wilayah perairan Indonesia sangat kaya dengan ragam topik riset yang bisa dikerjasamakan guna mendapatkan berbagai temuan-temuan ilmiah tentang kelautan Dunia.
Beberapa fenomena iptek kelautan di perairan Indonesia yang bisa mendunia, antara lain Arus Lintas Indonesia (Arlindo), Segitiga Terumbu Karang, Indian Ocean Dipole (IOD), kolam panas pemicu variabilitas iklim El Nino dan La Nina, proses upwelling di laut tempat ikan berkumpul, juga prediksi cuaca monsoon dan pemantauan gempa di laut, serta tsunami.
Kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok sudah dimulai sejak tahun 2006 lalu, dan sudah banyak hasil riset yang bisa dihilirisasi. Ke depannya, diprakirakan kerja sama riset kelautan Indonesia – Tiongkok dapat ditindaklanjuti melalui revitalisasi Indonesia – China Center for Ocean Climate yang dibentuk tahun 2012 lalu.
Di samping itu, kerja sama pengembangan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dan Tiongkok melalui program Master dan Doktor, ekspedisi kelautan bersama, serta penerapan hasil hasil riset kelautan yang sudah terhimpun untuk program perubahan iklim global di laut, implementasi keanekaragaman hayati laut, ilmu perikanan dan ekonomi biru guna kemaslahatan penduduk Indonesia dan Tiongkok.
Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) dengan topik ‘Kerjasama Kelautan Indonesia – Tiongkok Untuk Pemantauan Iklim Laut, ,Rabu 18 September 2024
Berbicara pada diskusi adalah Professor Weidong Yu dari Sun Yat Sen University, Zhuhai, China, sedang bertindak sebagai moderator adalah Dr Marina Frederik, ahli geofisika Laut BRIN.
Professor Yu menyampaikan bahwa sejak kerja sama iptek kelautan Indonesia – Tiongkok ditandatangani, antara First Institute of Oceanography (FIO), China’s State Oceanic Administration (SOA), dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2006 lalu hingga tahun 2024 ini telah digelar 6 proyek proyek riset antara kedua negara.
Proyek riset pertama tentang:”South China Sea and Indonesian Seas Throughflow and its Impacts on Fish Seasonal Migration (SITE)”, menggunakan kapal riset Baruna Jaya BPPT, guna mengkaji peran Arus Lintas Indonesia (Arlindo) terhadap migrasi ikan dan kumpulan ikan di Perairan Laut China Selatan dan di Perairan Indonesia, mengingat fenomena Arlindo menegaskan bahwa arus laut bergerak dari Samudera Pasifik, melewati Kepulauan Nusantara menuju Samudera Hindia, ini berdampak pada pola migrasi ikan.
Proyek Riset kedua tentang: “The Java Upwelling Variations and Impacts on Seasonal Fish Migration” pada tahun 2007 menggunakan kapal riset Baruna Jaya milik BPPT. Riset ini mempelajari tentang naiknya khlorofil dari dasar laut, yang merupakan sumber pakan ikan, sehingga dapat dipantau wilayah kaya ikan, serta migrasi ikan di perairan Indonesia.
Proyek Riset III tentang:”Monsoon Onset Monitoring in the Tropical Eastern Indian Ocean and its Social and Ecological Impacts”, tahun 2010. Pada ekspedisi ini mulai dipasang pelampung-pelampung bouy di Samudera Hindia, sebelah Barat Sumatera.
Pada 23 Maret 2012, disaksikan Presiden SB Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Hu Jintao, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Cicip S.Soetardjo dan mitranya dari Tiongkok menandatangani pembentukan Indonesia – China Center for Ocean and Climate (ICCOC).
Menurut Professor Yu, keberadaan lembaga ini semakin memacu kerjasama iptek kelautan antara dua negara tadi. Berbagai kegiatan riset bersama yang digelar, antara lain: Proyek “Response of Marine Hazards to Climate Change in the Western Pacific (ROSE)”. Lalu ada proyek:” Marine Biotechnology and Biodiversity Joint Study”, juga proyek: “Joint Observation Station in Badong, West Sumatra” dan proyek: Eastern Indian Ocean Geology and Benthic Biology Joint Study.
Tidak hanya kerja sama antara dua negara, Indonesia dan Tiongkok berpartisipasi dan berkontribusi pada program program riset kelautan regional, seperti 2nd Internationl Indian Ocean Expedetion (IIOE-2). Juga pengkajian tentang sebaran serta migrasi ikan tuna sirip biru (Blue Fun Tuna) yang berada di Samudera Hindia antara selatan pulau Jawa dan perairan Australia Utara.
Melalui kerjasama Indonesia – USA – China, dibangun pula jarigan pelampung pemantauan laut, sebagai bagian dari Program “Global Tropical Moored Buoy Array”, untuk prediksi El Nino dan La Nina. Data ini sangat penting untuk prakiraan kehadiran El Nino, karena kehadiran El Nino bisa berdampak pada kebakaran hutan dan lahan, gagal panen serta meningkatnya beberapa penyakit seperti demam berdarah.
Investasi Tiongkok dalam riset kelautan terus ditingkat. Kerja sama dengan Indonesia, yang tadinya menggunakan kapal riset BPPT Baruna Jaya dan kapal riseet BRKP Madidihang, sekarang Tiongkok telah membangun kapal riset sendiri yang amat besar dan sangat modern, diberi nama R/V Zhong Shan Da Xue.
Kapal yang panjangnya 115 meter, berarti dua kali panjang Kapal Riset Baruna Jaya. R/V Zhong Shan Da Xue ini juga dilengkapi oleh kapal selam riset yang mampu menyelam hingga kedalaman 7000 meter.
Bermodalkan pengalaman bekerjasama lebih dari 17 tahun antara Indonesia dan Tiongkok di bidang riset kelautan ini, ditambah dengan ketersediaan infrastruktur yang semakin baik, terutama dari pihak Tiongkok, seperti kapal selam modern tadi, maka Professor Yu mengusulkan program yang telah terjalin sangat baik ini bisa dilanjutkan, terutama dengan merevitalisasi kerjasama Indonesia – China Center for Ocean and Climate (ICCOC) yang sudah mulai bekerja sejak tahun 2012 lalu.
Diharapkan , melalui ICCOC dapat dibuat program program unggulan kelautan untuk mengkaji dan mengimplementasikan permasalahan kelautan dan perubahan iklim Global, studi keanekaragaman hayati laut, riset tentang perikanan dan pembangunan ekonomi biru.
Para pakar CTIS sepakat untuk segera menyusun usulan program revitalisasi riset kelautan RI-Tiongkok, untuk diserahkan kepada Pemerintahan yang baru. ***