Jumat, 26 Juli 2024

Vanili Potensial Hasilkan 100 Ribu Dolar AS per Hektare, Layak Dilirik untuk Multiusaha Kehutanan

Latest

- Advertisement -spot_img

Vanili layak dilirik sebagai salah satu komoditas yang bisa dikembangkan dengan pola multiusaha kehutanan di areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

Vanili memiliki nilai komersial tinggi seiring tren industri global yang memanfaatkan produk alami dan berasal dari sumber yang lestari.

Namun tantangannya adalah budidaya vanili butuh investasi awal yang cukup besar dengan harga yang cukup fluktuatif.

Widharmika Agung, Direktur Systemiq Indonesia menuturkan berdasarkan hitung-hitungan yang dilakukan budidaya vanili adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling layak diusahakan dengan pola agroforestry di kawasan hutan.

Diskusi daring Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tentang Multiusaha Kehutanan dengan Komoditas Vanili, Jumat, 11 Maret 2022.

Systemiq Indonesia memperhitungkan faktor kelayakan dalam konteks pengendalian emisi gas rumah kaca dari hutan, kelayakan secara bisnis, sosial, dan regulasi, serta kemungkinan mendapat sumber pendanaan yang berkelanjutan.

“Kesimpulannya, HHBK yang paling cocok karena memiliki high value dan low intensitas adalah vanili,” kata Widharmika saat diskusi daring Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tentang Multiusaha Kehutanan dengan Komoditas Vanili, Jumat, 11 Maret 2022.

Systemiq Indonesia adalah lembaga yang mendorong transformasi usaha menuju praktik yang lebih ramah iklim dan berkelanjutan. 

Widhar menjelaskan dari sisi pemanfaatan lahan, vanili tak butuh lahan luas untuk mendapat profit yang tinggi. Dari 1 hektare lahan vanili bisa diperoleh pendapatan hingga 100 ribu dolar AS.

Bandingkan dengan pengelolaan karet dimana per hektarenya hanya mampu menghasilkan 500 dolar AS. “Jadi kalau mau mencapai skala vanili, butuh lahan yang lebih luas untuk mengusahakan karet,” kata Widhar.

Vanili bisa dipanen setelah 4 tahun tanam. Harga vanili basah saat ini berkisar Rp200 ribu-Rp250 ribu per kilogram (kg). Sementara vanili kering harganya bisa mencapai Rp1 juta-Rp1,5 juta per kg.

Di tahun keempat saat panen perdana, pendapatan yang diperoleh sudah bisa mencapai Rp1 miliar-Rp1,5 miliar per ha. Langsung menutup biaya investasi yang sekitar Rp400 juta per hektare.

Dari sisi ekologi budidaya vanili juga sangat cocok di Indonesia yang beriklim tropis, basah dan hangat. Tanaman vanili juga cocok dikembangkan di hutan karena butuh naungan untuk tumbuh dengan baik. Budidayanya pun relatif mudah.

“Yang diekstrasi pun buahnya sehingga cocok untuk meningkatkan carbon stok,” kata Aruna Pradipta, Manager Systemiq Indonesia.

Vanili banyak digunakan pada industri makanan dan parfum. Menurut Aruna, seiring dengan berkembangnya gaya hidup hijau, penggunaan vanili alami kini kembali meningkat setelah sebelumnya banyak menggunakan sintetis.

Di sisi lain, konsumen juga mencari produk vanili yang diproduksi secara etis yaitu tidak membuka hutan, ramah lingkungan dan tidak mempekerjakan pekerja anak.

“Ini peluang untuk Indonesia,” kata Aruna.

Meski menggiurkan, namun Aruna mengakui bahwa budidaya vanili punya tantangan. Yang pertama adalah besarnya biaya investasi yang mesti dikeluarkan.

Sebagai solusi Aruna menyatakan unit manajemen hutan bisa mencari sumber pembiayaan berkelanjutan berbunga rendah bahkan hibah. Hal ini sudah dipraktikan oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) yang mendapat hibah untuk pengembangan vanili.

“Di REKI dengan budidaya vanili seluas 10 hektare sudah bisa mengcover biaya operasional pengelolaan hutan seluas 98.000 hektare,” kata Aruna.

Tantangan lain adalah soal fluktuasi harga. Saat harga sedang tinggi vanili bisa mencapai 600 dolar AS sementara saat jatuh bisa anjlok hingga tinggal 20 dolar AS saja.

Untuk mengatasi hal ini, Aruna menyarankan perlunya memulai pengembangan usaha dengan mencari pasar yang jelas terlebih dahulu sebelum berinvestasi. Apapun komoditasnya. Hal ini bisa mengurangi dampak dari guncangan fluktuasi harga.

Sementara Roman Sabytaev, Direktur PT Java Agro Spices, eksportir vanili menjelaskan saat ini pasar vanili global dikuasai Madagaskar. 

“Sekitar 77% vanili dunia diproduksi oleh Madagaskar. Indonesia walaupun secara volume nomor dua tapi jauh lebih sedikit,” katanya.

Dia menjelaskan banyak hal yang membuat fluktuasi harga vanili terjadi. Diantaranya adalah bencana badai yang merusak tanaman vanili Madagaskar atau kualitas vanili yang menurun akibat praktik budidaya yang tidak baik.

Namun, saat ini harga relatif stabil setelah pemerintah Madagaskar mengembangkan tata niaga vanili. ***

More Articles