Rabu, 6 November 2024

Recovery Sektor Kehutanan dari Pandemi Covid-19

Latest

- Advertisement -spot_img

Pandemi Covid-19, tidak hanya melanda Indonesia, tapi di berbagai negara memberi dampak besar bagi perekonomian hampir di semua sektor usaha. Tidak terkecuali sektor kehutanan.

Seperti yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, dalam kaitannya dengan usaha kayu hasil olahan, hulu dan hilir, industri, pandemi sangat terpengaruh. “Dengan situasi pandemi Covid-19 ini, memang seperti dipahami bahwa dunia usaha termasuk dunia usaha kehutanan kena pengaruh,” kata Siti saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR secara virtual, beberapa waktu lalu.

Sebelum Covid-19 menyebar menjadi pandemi, Indonesia sebenarnya sedang mengalami tren kenaikan ekspor produk kayu.  Pada tahun 2015, nilai ekspor produk kayu Indonesia mencapai US$9,84 miliar dan US$9,2 miliar di tahun 2016.  Pada tahun 2017, nilai ekspor produk kayu tercatat sebesar US$10,9 miliar pada 2017, dan naik menjadi sekitar US$12,1 miliar pada 2018. Pada 2019 karena faktor global, nilai ekspor turun tipis sebesar 4% dari tahun sebelumnya menjadi US$11,6 miliar.

Setelah pandemi terjadi di awal 2020,ekspor produk kayu Indonesia mulai melambat. Ini dikarenakan banyak negara-negara tujuan ekspor mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekspor pada Januari 2020 masih tercatat naik 2,1% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (YoY). Demikian juga pada Februari 2020 yang naik 2,3%. Namun setelah pandemi Covid-19 merebak pada Maret, ekspor menurun bahkan hingga menjadi -8,4% pada Mei 2020.

Namun segelap apapun awan mendung akan berakhir dengan sinar cerah matahari. Sejak catatan ekspor terdalam di bulan Mei, ekspor mulai menunjukan kenaikan meski masih mengalami pertumbuhan minus.

Meski mengalami lebih banyak pertumbuhan minus dalam catatan per bulan, namun ekspor produk industri kehutanan pada tahun 2020 lalu masih bisa mencapai  US$11,07 miliar dolar AS. Tak jauh beda dengan catatan sebelumnya.

Memasuki tahun 2021, ekspor produk industri kehutanan benar-benar sudah menunjukan tanda pemulihan. Ini bisa dilihat dari kinerja ekspor sepanjang tahun 2021 per bulan jika dibandingkan dengan catatan tahun 2020.  Pada Januari 2021, ada peningkatan sebesar 6,3% jika dibandingkan niilai ekspor Januari 2020. Pada Februai 2021 ekspor tercatat naik sebesar 9,1% dibandingkan Februari 2020. Sementara pada Maret 2021 ekspor tercatat naik sebesar 14% dibandingkan bulan yang sama tahun 2020.

Jadi catatan ekspor yang sudah diraih pada tahun ini, sampai Maret,  yang sebesar US$4,42 miliar mengalami peningkatan hingga 21,6% jika dibandingakan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar  US$3,63 miliar.

Peningkatan terbesar terjadi untuk produk furnitur kayu. Dari 488,4 juta dolar AS pada periode Januari-April  2020 menjadi 833,9 juta dolar AS pada periode yang sama di tahun 2021 atau meningkat hingga 70,7%.

Untuk produk kayu olahan lain, peningkatan terjadi rata-rata di atas 10%.

Kenaikan ekspor produk kayu ini juga tercermin pada pasar kayu bulat di dalam negeri. Sesuai hukum supply-demand, kenaikan ekspor bedampak pada naiknya permintaan kayu bulat. Namun stok log yang tersedia terbatas karena tahun lalu banyak pemegang izin usaha pemanfaatan hutan (IUPHHK) hutan alam (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang mengendurkan produksi dan wait and see terkait situasi pandemi.

Keterbatasan stok itu juga diwarnai dengan musim hujan yang cukup panjang yang membuat aktivitas produksi kayu di hutan terkendala. Dengan stok yang terbatas, tak heran jika akhirnya harga log melambung tinggi.

Harga log pada Mei bahkan menyamai rekor yang pernah terjadi di tahun 2018. Jika biasanya harga log meranti sebesar Rp2,2 juta per m3, maka pada Mei, log meranti mencapai Rp2,8 juta bahkan Rp3 juta per m3

Pemulihan Sektor Kehutanan

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo beberapa waktu lalu mengungkapkan optimisme soal pemulihan sekor kehutanan. Indroyono yang juga Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) memaparkan sejumlah alasan ekspor produk kayu Indonesia bisa kembali moncer.

Pertama, pasar yang ada sesungguhnya sangat besar. Informasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussel, Belgia, pasar produk kayu Uni Eropa sesungguhnya mencapai US$152 miliar per tahun. Pangsa pasar Indonesia di kawasan itu saat ini baru sekitar US$1 miliar per tahun.

Indroyono menyatakan, pihaknya terus memperkuat komunikasi dengan Duta Besar RI di seluruh penjuru dunia untuk memperkuat penetrasi pasar. Para Duta Besar bisa menyediakan berbagai informasi market intelligence sekaligus menjadi marketing bagi produk-produk Indonesia.

Indroyono menuturkan, pihaknya sangat berterima kasih dengan penguatan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dapat meningkatkan akuntabilitas produk kayu Indonesia sekaligus memperkuat komitmen keberlanjutan usaha. SVLK, menjadi salah satu komponen penting untuk terus menerobos pasar ekspor.

Dia juga berharap kebijakan perluasan penampang produk kayu pertukangan bisa diterapkan, karena negara yang memang membutuhkan produk kayu dengan luas penampang yang lebih luas dibandingkan dengan yang saat ini diperkenankan untuk di ekspor.

Kinerja produk kayu juga di perkuat dengan melakukan diversifikasi produk. Produk kayu Indonesia kini bisa diolah menjadi bahan sandang seperti rayon.

Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) dalam memerangi pandemi Covid-19, produk masker yang berbahan baku kayu kini juga punya peluang untuk dikembangkan.

Indroyono menambahkan, peningkatan kinerja usaha juga dilakukan dengan menerapkan multiusaha kehutanan melalui agroforestry. Sudah ada beberapa perusahaan yang mengimplementasikan pola usaha tersebut untuk memproduksi produk pangan seperti tebu dan singkong.

Ketua Asosiasi Pengusaha Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Bambang Soepijanto juga meyakini soal bakal terus membaiknya kinerja ekspor. “Jika melihat data BPS, nilai dan volume ekspor terus mengalami kenaikan,” katanya.

Bambang menganalisis salah satu penyebab permintaan  produk kayu Indonesia membaik adalah situasi di negara-negara pesaing. Menurut dia, Malaysia sebgai salah satu pesaing utama Indonesia saat ini sudah kehabisan bahan baku kayu. Otomatis pembeli akan beralih kepada Indonesia.

Apalagi secara global, produk kayu lapis Indonesia dikenal memiliki kualitas yang sangat baik. Memanfaatkan bahan baku kayu meranti, produk kayu lapis Indonesia selalu masuk dalam pasar premium meski secara volume tidaklah besar.

“Malaysia kayunya sudah habis. Kalau Indonesia masih banyak. Ini peluang untuk kita,” katanya.

PELUANG EKSPOR

Untuk pemulihan sektor kehutanan Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi mendorong penguatan ekspor produk kayu olahan Indonesia ke Korea Selatan setelah wabah Covid-19 usai. Dia menjelaskan bahwa sejauh ini Indonesia merupakan mitra utama perdagangan kayu olahan ke Korea Selatan dengan tren ekspor yang meningkat dan saat ini berada di posisi ketiga terbesar setelah Vietnam dan China.

Hadi menambahkan, potensi perluasan produk kayu olahan Indonesia yang berbasis SVLK ke Korea Selatan sangat terbuka lebar, terlebih sejak Oktober 2018 Korea Selatan sudah memberlakukan Undang-Undang mengenai Sustainable Use of Timber. Di samping itu, Korea Selatan merupakan negara yang 70% dari aktivitas perekonomiannya tergantung dari perdagangan internasional.

“Panel kayu masih menjadi produk ekspor utama Indonesia dan dengan adanya rencana pemberlakuan antidumping untuk produk panel dari Vietnam ke Korea, tentunya ini menjadi peluang bagi Indonesia memperluas pangsa pasar produk panel,” tutur Hadi.

Sementara itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rufi’ie mengatakan, SVLK strategis menjadi pintu masuk untuk mempromosikan dan memperluas pasar ekspor produk kayu olahan Indonesia. “Indonesia telah menjadi pelopor dalam penerapan SVLK, dan dari tahun ke tahun ekspor kayu olahan berbasis SVLK menunjukkan tren yang terus meningkat,” ujarnya..

Rufi’ie mendukung pengembangan market intelligence dan pelaksanaan misi dagang ke Indonesia, khususnya untuk mendorong investasi dan perdagangan, serta mempromosikan penerapan SVLK.

Selain Korea Selatan, China juga menjadi negara tujuan yang memiliki peluang untuk terus digarap.  Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, China menjadi negara tujuan ekspor terbesar produk hasil hutan Indonesia, disusul Jepang, AS, Uni Eropa dan Korea Selatan.

Duta Besar Republik Indonesia untuk China, Djauhari Oratmangun menyambut baik usulan APHI untuk penguatan ekspor produk kayu olahan Indonesia ke China pasca Covid-19.

Menurut Djauhari, Indonesia saat ini menjadi mitra utama perdagangan kayu olahan dengan China, dengan tren ekspor yang terus meningkat dan saat ini berada di posisi pertama di atas Jepang dan Amerika Serikat. “Berdasarkan catatan kami, periode tahun 2009 hingga 2018, total pasokan pasar produk kayu Tiongkok meningkat dari 420 juta meter kubik menjadi 560 juta meter kubik, meningkat 32,6% dalam 10 tahun, dimana 50% dari kebutuhan tersebut berasal dari impor,” paparnya.

BERBASIS RAKYAT

Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang juga Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Bambang Hendroyono menyatakan, Kementerian LHK telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mendukung pemulihan sektor usaha kehutanan. “Bergeraknya usaha kehutanan harus juga bisa menggerakan kesejahteraan rakyat di sekitar hutan,” katanya.

Bambang menjelaskan, Kementerian LHK telah melakukan cara kerja baru dalam mengelola hutan produksi secara lestari. Pengelolaan hutan produksi dilakukan dengan pendekatan landscape (bentang alam), kemudian dilakukan analisis spasial untuk melihat area rawan karhutla, konflik tenurial, dan mengintegrasikan sektor hulu-hilir, dan pasar.

Ketika ditemukan masalah di lapangan, secepatnya untuk menemukan solusi. Terakhir adalah integrasi program baik untuk usaha hulu kehutanan, industri di hilir, serta untuk pasar.

Beberapa kebijakan untuk mendorong peningkatan produktivitas industri kehutanan Bambang menjelaskan secara singkat. Pertama untuk sektor hulu, adalah mempercepat pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). “Ini akan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) mini yang saling mendukung untuk pemenuhan bahan baku industri kehutanan,” tegasnya.

Selain itu, dilakukan pengembangan agroforestry di areal kerja HTI, kemudian mewujudkan pembangunan multiusaha di areal izin pemanfaatan hutan produksi, serta penyederhanaan perizinan berusaha di bidang pemanfaatan hutan produksi.

Kedua adalah untuk Industri di hilir, beberapa kebijakan pemerintah adalah dengan Usulan peningkatan luas penampang produk ekspor industri kehutanan. “Kementerian LHK sudah mengusulkan agar penampang kayu pertukangan yang bisa diekspor di perluas dari 4.000 mm2 menjadi 15.000 mm,” katanya.

Bambang menyatakan, pemerintah terus memperluas keberterimaan pasar dengan memperkokoh penerapan SVLK, serta fasilitasi sertifikasi SVLK untuk Usaha Kecil Menengah UKM). “SVLK telah berkontribusi secara signifikan pada peningkatan kinerja ekspor produk industri kehutanan. Ke depan, kami menargetkan pemulihan kinerja ekspor produk industri kehutanan lebih baik lagi, yaitu meningkatkannya ke level positif secepat mungkin,” ungkap Bambang.

Dia menjelaskan, target tersebut realistis karena produksi di sektor hulu telah menunjukkan pertumbuhan substansial pada pertengahan tahun 2020, terutama dari hutan tanaman industri. “Kami terus menjaga hubungan linear positif antara pertumbuhan produksi di sektor hulu (yang terus menunjukkan tren positif ) dengan kinerja ekspor produk industri kehutanan (hilir dan pasar),” kata Bambang.

Dia menyinggung soal multiusaha kehutanan, hal tersebut sangat diperlukan karena pada masa yang lalu, nilai ekonomi riil lahan hutan sangat rendah, pasar kayu yang berasal dari hutan alam cenderung menurun, dan perlu optimalisasi ruang pemanfaatan kawasan hutan. Multiusaha kehutanan juga dapat bermanfaat sebagai alternatif sumber PNBP selain hasil hutan kayu.

Multiusaha kehutanan yang saat ini menjadi model pengelolaan hutan produksi, kedepan bisa menjadi kebijakan. Kebijakan dimaksud diharapkan meningkatkan produktivitas rakyat dan pemulihan ekonomi nasional.

KEBIJAKAN FISKAL

Selain kebijakan tersebut, Kementerian LHK telah melakukan antisipasi dampak sosial ekonomi masyarakat dan menjaga keberlangsungan sektor usaha kehutanan dengan stimulus ekonomi di tengah pandemi Covid-19.

Siti menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberikan arahan untuk melihat semua sektor dalam upaya penanganan pandemi tersebut.

Berbagai usulan dari Kementerian LHK sudah disampaikan, di antaranya usulan relaksasi kebijakan pembayaran dana reboisasi tidak lagi dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat, tapi rupiah. Menurut Siti, usulan pembayaran dana reboisasi ini sudah dituangkan dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kehutanan.

Selain itu, lanjut Siti, ada juga usulan keringanan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) terutang. Keringanan pembayaran Dana Reboisasi dan PSDH tertuang dalam bentuk pengangsuran sebagaimana diatur Pasal 62 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP.

Selain itu, Siti melanjutkan, usulan lain adalah penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) 10% atas kayu bulat sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPn selama krisis pandemi Covid-19.

Siti juga menyatakan pihaknya mengusulkan penuruan pajak ekspor veener dari 15% menjadi 5%. Usulan penurunan pajak ekspor veneer dari 15% menjadi 5% itu melalui revisi PMK Nomor 13/PMK.011/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

“Telah disampaikan ke Menkeu melalui surat Menteri LHK Nomor S.393/MenLHK/PHPL/HPL.3/6/2019 tanggal 28 Juni 2019,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Menteri LHK menjelaskan pihaknya mengusulkan penjadwalan kembali pembayaran pinjaman. Menurut dia, penjadwalan kembali pembiayaan pinjaman perusahaan sektor kehutanan melalui Menteri Keuangan kepada otoritas terkait, yaitu Gubernur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagai upaya pemerintah dalam menyikapi pandemi Covid-19, Presiden Jokowi meminta semua gubernur, bupati, wali kota ikut memikirkan keseimbangan kebijakan untuk menyelesaikan krisis kesehatan dan ekonomi secara bersamaan. Dalam hal memasuki era kenormalan baru atau new normal, Jokowi juga menegaskan agar semuanya dilakukan secara bertahap, dimulai dari proses prakondisi, penentuan waktu yang tepat, hingga menentukan sektor prioritas yang akan dipulihkan.

“Sektor yang memiliki risiko rendah tentu saja didahulukan. Sektor yang memiliki risiko sedang tentu saja dinomorduakan, dan sektor yang memiliki risiko tinggi dinomortigakan atau dinomorempatkan atau dinomorlimakan,” kata Jokowi.

Presiden menegaskan Pemerintah Indonesia memiliki fokus yang sama besar untuk menyelesaikan krisis kesehatan dan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Pemerintah, lanjutnya, telah menyiapkan serangkaian strategi untuk menangani kedua krisis itu sekaligus. Dia menjamin manajemen penanganan krisis itu berjalan seimbang sehingga tak perlu mengorbankan aspek kesehatan maupun ekonomi.

“Dalam manajemen krisis ini, rem dan gas harus betul-betul seimbang. Tidak bisa kita gas di ekonomi tetapi kesehatannya terabaikan, tidak bisa juga kita konsentrasi penuh di kesehatan tetapi ekonominya terganggu,” katanya saat kunjungan kerja di Jawa Timur.

Jokowi menuturkan akan terus memantau berbagai proyeksi ekonomi yang disampaikan oleh lembaga keuangan dunia. Hampir semua negara di dunia mencatatkan pertumbuhan negatif pada tahun lalu, kecuali China.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,9% pada 2021. Berdasarkan survei OECD tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia diramal kembali naik menjadi 5,4% pada tahun 2022.

Presiden menilai proyeksi pertumbuhan negatif pada negara-negara maju tersebut juga berarti akan diiringi oleh penurunan permintaan, sebagai akibat dari pelemahan konsumsi masyarakatnya. Hal itu juga bisa langsung merembet pada produksi berbagai barang, termasuk asal Indonesia, yang biasanya diekspor ke negara-negara maju tersebut. “Artinya demand, suplai, produksi, semuanya rusak dan terganggu,” ujarnya.

Berdasarkan gambaran itulah, Jokowi menyebutkan masalah ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi virus Corona sama beratnya dengan krisis kesehatan. Saat kasus virus Corona mulai ditemukan di Indonesia, Presiden juga sempat menelepon Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva untuk menanyakan potensi krisis ekonomi akibat pandemi. “Dia mengatakan bahwa betul-betul dunia global berada pada posisi krisis ekonomi yang tidak mudah, yang lebih berat dari depresi besar 1930,” ungkapnya.***

- Advertisement -spot_img

More Articles