Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Profesor Hadi S Alikodra mengatakan upaya konservasi satwa primata selain bertujuan untuk penyelamatan tapi juga harus bergerak ke arah pemanfaatan.
Demikian dikatakan Alikodra saat Webinar Webinar Primatologi Seri 2 dengan Seri Konservasi “Menyelamatkan Satwa Primata, Menyelamatkan Primata Manusia”, Selasa 17 Mei 2022
Webinar diselenggarakan oleh Program Studi Primatologi Sekolah Pascasarjana IPB University.
Menurut Alikodra, salah satu kekhawatiran terbesar terkait satwa primata adalah persebaran spesies serta adanya biopiracy.
Menurutnya, persebaran spesies primata semakin mendekati pemukiman warga karena adanya pertambangan hingga pertanian monokultur.
Satwa primata juga sering diburu untuk diperjualbelikan di pasar gelap untuk keperluan bahan baku obat.
Adanya aktivitas ini dapat mengarahkan primata pada kepunahan. Sehingga diperlukan suatu teknologi yakni bioprospeksi dengan memanfaatkan sel punca sehingga spesies primata dapat terkonservasi.
“Artinya kita menyiapkan (keberlanjutan) termasuk ke dalamnya primata, dinamika hutan tidak selamanya selaras dengan kebutuhan spesies,” katanya seperti dikutip dari laman IPB.
Ia mengatakan, upaya konservasi dengan menggabungkan kawasan hutan atau kawasan konservasi seringkali tidak dikehendaki oleh primata.
Dikarenakan primata tidak hanya bersosialisasi dengan sesama spesiesnya, namun juga dengan spesies lain.
Sehingga sistem komunitas dan ekologi dalam ekosistem perlu diperluas menjadi lanskap.
Ia menawarkan era baru konservasi yakni mengimplementasikan peran manusia bukan hanya sekedar menyelamatkan, tapi turut memanfaatkan upaya konservasi.
Adanya Pusat Studi Satwa Primata IPB University juga dapat menjadi wadah untuk mengimplementasikan penggabungan ilmu ekologi dan biologi, biomedis dan konservasi.
Indonesia mesti mengubah sektor jasa ke sektor bisnis menuju eko-inovasi dengan mengomersialisasikan satwa yang dikonservasikan.
“Sudah saatnya sekarang kita mengacu pada tiga dimensi untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan (satwa primata) dengan cara tidak merusak. Yakni bioprospeksi dan ekowisata, dan ini yang kita bangun. Ilmu primata tidak hanya sekedar ilmu, namun seni dan etika yang harus kita bangun,” tambahnya.
Menurutnya, generasi muda dianggap dapat menjadi cikal bakal pengembangan konservasi dari jasa sistem ke bisnis sistem.
Kolaborasi triple helix yang berpusat pada perguruan tinggi juga menjadi pilar utama dalam mengembangkan kebijakan yang mengarah pada eko-inovasi dan entrepreneurship.
Dr drh Taufiq Purna Nugraha, peneliti di Pusat Riset Zoologi Terapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) turut hadir dan memaparkan studi endokronologi untuk menunjang konservasi primata.
Studi ini dapat memberikan kontribusi signifikan dalam konservasi dengan membantu memahami organisme mengatasi perubahan lingkungannya.
“Studi ini dapat memberikan informasi substansial tentang pertumbuhan, stress, status reproduksi, perilaku,hingga interaksi dengan manusia. Sehingga perencanaan dan antisipasi kerusakan hábitat dan manajemen konservasi spesies primata dapat dilakukan,” katanya.***