Pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu kunci tercapainya target penyerapan lebih tinggi dibanding emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Net Sink FoLU) 2030.
Pelaku usaha pun ditantang untuk lincah menerapkan multiusaha kehutanan yang potensial secara bisnis sambil berkontribusi pada pencapaian target tersebut.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menyatakan ada beberapa aksi mitigasi utama untuk mencapai Net Sink FoLU.
Kegiatan tersebut diantaranya adalah pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+, pembangunan hutan tanaman, pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan, dan pengelolaan lahan gambut termasuk mangrove.
“Kemitraan yang melibatkan semua pihak menentukan keberhasilan pencapaian Net Sink FoLU. Kami juga mengundang mitra global untuk bekerja sama,” kata Agus saat sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Rabu (10/11/2021)
Net Sink FoLU 2030 berarti emisi GRK Indonesia lebih rendah dibandingkan yang bisa diserap pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan
“Setelahnya, bersinergis dengan penurunan emisi GRK dari sektor energi, maka Indonesia akan mencapai Net Sink pada tahun 2060 atau lebih cepat,” kata Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman.
Saat ini ada sekitar 33,2 juta hektare hutan produksi yang dibebani konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Praktik pengelolaan hutan lestari yang bisa diterapkan diantaranya adalah silvikutur intensif, pengkayaan, restorasi gambut dan reduce impact logging (RIL).
“Implementasi pengelolaan hutan lestari itu berdampak langsung pada peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan,” kata Direktur Usaha Hutan Produksi KLHK Istanto.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menjelaskan untuk mendukung pencapaian Net Sink FoLU, pelaku usaha akan mengimplementasikan multiusaha kehutanan.
Berdasarkan skema ini, usaha kehutanan tidak hanya fokus pada hasil hutan kayu tapi juga pada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan seperti penyerapan dan penyimpanan karbon.
“Skema multiusaha kehutanan kini dimungkinkan dengan telah terbitnya Undang-undang Cipta Kerja,” kata Indroyono.
Menurut Indroyono, dengan multiusaha kehutanan maka nilai kawasan hutan bisa semakin meningkat yang pada akhirnya akan mengurangi tekanan untuk dilakukannya konversi.
Indroyono juga mengungkapkan potensi pengurangan emisi GRK di seluruh areal konsesi PBPH yang mencapai 124 juta setara karbondioksida (CO2e) di tahun 2030 yang pasti sangat berkontribusi pada pencapaian target Net Sink FoLU.
Indroyono menyatakan pencapaian Net Sink FoLU dari pengelolaan hutan lestari butuh dukungan Internasional.
Terkait hal itu, Indonesia sudah mencalonkan Yuri O Thamrin sebagai Direktur Eksekutif International Tropical Timber Organization (ITTO) yang diharapkan bisa lebih mempromosikan peran penting pengelolaan hutan lestari dalam pengendalian perubahan iklim
Chief Sustainability Officer, APP Sinar Mas Elim Sritaba, menyatakan APP Sinar Mas dan mitra-mitranya dengan dukungan Pemerintah Indonesia berkomitmen berkontribusi dalam pencapaian target pengurangan NDC
APP Sinar Mas telah mengalokasikan sekitar 600.000 hektare dari konsesinya untuk kegiatan restorasi. Selain itu dengan arahan Pemerintah, APP Sinar Mas juga melakukan perbaikan tata kelola gambut.
“Kami pihak swasta akan siap terbuka terus menjalankan praktik-praktik bisnis berkelanjutan sehingga target yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia, bisa dicapai dengan upaya bersama dan berkolaborasi,” kata Elim. ***