Kamis, 3 Oktober 2024

Multi Usaha Kehutanan Tingkatkan Nilai Ekonomi Riil Hutan, Jadi Penopang FOLU Net Sink 2030

Latest

- Advertisement -spot_img

Model bisnis Multi Usaha Kehutanan dinilai bisa memicu produktivitas sehingga nilai ekonomi riil lahan hutan bisa meningkat. Implementasi Multi Usaha Kehutanan juga berdampak besar pada pencapaian agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menjelaskan, berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) bisa mengembangkan Multi Usaha Kehutanan.

“Pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan ini, mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu dan non kayu,” katanya saat sesi talkshow pada Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Eenergi Terbarukan di Jakarta, Sabtu 16 September 2023.

Agus menyatakan paradigma pemanfaatan hutan yang hanya berorientasi pada kayu sudah tidak relevan lagi. Apalagi, potensi kayu menurut berbagai literatur tak lebih dari 5%. Oleh karena itu kini 95% potensi lansekap hutan lainnya harus dikembangkan melalui diversifikasi usaha kehutanan.

“Skema multiusaha dianggap mampu meningkatkan nilai ekonomi riil lahan hutan yang saat ini masih rendah,” katanya.

Mengacu pada PermenLHK No. P.08/2021 PBPH dapat melakukan penyesuaian perubahan usaha kegiatan pemanfaatan hutan melalui Multi Usaha Kehutanan. Meski demikian dalam percepatan pelaksanaan PBPH Multi Usaha Kehutanan ada bebarapa hal yang mesti dicermati seperti meningkatkan koordinasi dengan BKPM terkait OSS; koordinasi dengan BPS dalam hal penyesuaian KBLI dari semula KBLI berbasis jenis izin menjadi KBLI PBPH berbasis Multi Usaha Kehutanan, dan sinergitas antar lembaga.

“Penyesuaian KBLI menjadi sangat penting karena menyangkut perhitungan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB,” kata Agus.

Dia menyatakan implementasi model bisnis Multi Usaha Kehutanan menjadi bagian dari pencapaian agenda pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) untuk pengendalian perubahan iklim, Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Pasalnya, skema multi usaha kehutanan akan berdampak pada perlindungan hutan alam dari deforestasi, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon, pengelolaan ekosistem gambut, serta pengendalian kebakaran dan konservasi keanekaragaman hayati.

Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengungkapkan hingga saat ini sudah ada sekitar 40 perusahaan PBPH yang mengajukan untuk implementasi multi usaha kehutanan.

Menurut Purwadi pelaku usaha kehutanan butuh insentif yang bisa menjadikan implementasi multi usaha kehutanan sebagai bagian dari value chain perusahaan. Dia mencontohkan pengembangan hutan tanaman industri dengan pola agroforestry yang bisa mendapat nilai tambah dari bisnis karbon dengan metode ARR (Aforestation, Reforestation, Revegetation).

“Dengan adanya insentif maka perusahaan pemegang PBPH akan menginternalisasi multi usaha kehutanan dalam business process-nya dan tidak mengangap sebagai kewajiban,” katanya.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Silverius Orcar Unggul menjelaskan multi usaha kehutanan merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh pelaku usaha di Indonesia.

Dia menjelaskan Kadin mulai mengintip peluang multi usaha kehutanan ketika Indonesia mengalami kekurangan bahan baku obat saat pandemi Covid-19. Padahal bahan baku itu bisa diproduksi dari kawasan hutan.

Selain itu permintaan akan energi terbarukan dalam bentuk pelet kayu mulai meningkat. Ditambah lagi dengan semakin berkembangnya model bisnis regenerative product di produsen-produsen dunia.

“Kebetulan kini ada model bisnis multi usaha kehutanan yang bisa diimplementasikan, makanya ini menjadi peluang,” katanya. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles