Tegang dan menegangkan. Suara tembakan dan ledakan bom menggema di utara hingga selatan Dukuh Plataran, Desa Selomartani, Yogyakarta. Di sisi utara, ada tentara Belanda membawa amunisi, senapan mesin serta mengendarai mobil jeep. Sedangkan di sisi selatan, ada pasukan Indonesia bersenjatakan senapan dan Senapan Mesin. Debu dan asap yang mengurangi visibilitas mengiringi dentuman tembakan yang saling bersahutan. Dari pihak Indonesia beberapa diantaranya memang gugur, namun dengan heroik mereka berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Demikian akhir dari Sosio-Drama Pertempuran Plataran 1949 yang ditampilkan para pemuda Plataran, Senin pagi, 24 Februari 2025.
Drama yang ditampilkan menggambarkan rinci pertempuran dahsyat 76 tahun silam, antara gerilyawan Akademi Militer Yogya (MA Yogya) dengan Tentara Belanda dari Batalyon 1, Resimen Infanteri 5, Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Gerilyawan MA Yogya kemudian sukses memukul mundur Tentara Belanda setelah serangkaian pertempuran yang dramatis. Lantas bagaimana sebetulnya kronologis pertempuran tadi?
Menurut Dewan Pembina Ikatan Keluarga Akademi Militer (IKAM) Yogya, Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, MSc, sejarah Pertempuran Plataran bermula pada Ahad 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan serbuan ke Yogyakarta, yang saat itu berstatus Ibukota Republik Indonesia dengan sandi Operation Kraii, atau Operasi Gagak. Operasi itu diawali dengan penerjunan Pasukan Para Belanda yang merebut Pangkalan Udara Maguwo. Para pemimpin republik lalu ditangkap dan diasingkan ke Brastagi, Sumatera Utara dan Ke Pulau Bangka. “Belanda telah mengkhianati Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948,” tuturnya.
Satu-satunya institusi yang tidak menyerah kepada Belanda adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Panglima Besar TNI, Jenderal Soedirman menerbitkan Perintah Siasat Nomor 1 Tahun 1948 guna mengganti taktik perang konvensional –dengan batas-batas wilayah jelas–, menjadi taktik perang gerilya semesta. Atas perintah itu, semua satuan TNI bergerak keluar dari Ibukota Yogyakarta, termasuk satu kompi Perwira Remaja dan Kadet MA Yogya, yang dipimpin langsung Gubernur MA Yogya, Kolonel GPH Jatikusumo. Mereka bergerak dan mengambil posisi di wilayah Sleman, Utara Yogyakarta.
TNI membentuk Wehrkreise III, atau Daerah Perlawanan III, dengan Komandan Wehrkreise III, Letkol Soeharto. Sedang Pasukan MA Yogya ditempatkan di Sub-Wehrkeise 104 dengan batas wilayah Operasi dari Jalan Raya Yogya-Solo hingga Kaliurang di kaki Gunung Merapi. Gerilyawan MA Yogya melancarkan Perang Gerilya dengan taktik: Bila Musuh Lengah Kita Serbu, Bila Bantuan Musuh Datang Kita Menghindar. Para gerilyawan bertempur pada malam hari dan bersembunyi di siang hari. Mereka hidup bersama rakyat, mereka beristirahat dilindungi rakyat dan mereka diberi makan dan minum oleh rakyat.
Tercatat, selama Perang Gerilya 1948–1949, terjadi 16 Kali pertempuran antara Tentara Belanda dengan para gerilyawan MA Yogya. Hebatnya, Gerilyawan MA Yogya dikenal piawai dalam taktik dan strategi, sehingga pihak Belanda menjuluki mereka sebagai Pasukan Pilihan (keur-troepen).
Pada Selasa, 22 Februari 1949, Markas Gerilya MA Yogya mendapat informasi bahwa ada pasukan Belanda di wilayah Dusun Sambiroto, sekitar 4 kilometer dari Plataran. Satu regu gerilyawan MA Yogya yang dipimpin Lettu Sarsono lantas ditugasi untuk mengintai gerak-gerik tentara Belanda di Sambiroto tadi. 10 Orang Perwira Remaja dan Taruna bergerak ke Sambiroto. Rupanya ada seorang kadet bernama Abdul Djalil yang ingin ikut dalam patroli ini, namun dilarang oleh Komandannya, karena Abdul Djalil baru saja sembuh dari luka tembak saat menyerbu Markas Belanda di Yogyakarta. Tanpa diketahui sang Komandan, Kadet Abdul Jalil menyelinap ikut bersama Pasukan Gerilyawan, dan ia berjalan di barisan paling belakang.
Setiba di pertigaan Sambiroto, tanpa disadari oleh gerilyawan MA, Tentara Belanda telah siap dan stelling dengan senapan mesin yang siap menyalak. Seorang Tentara Belanda berteriak dalam bahasa Belanda:” Wacht Voor?”, “Siapa Di situ?”. Secara refleks, Komandan Regu MA, Lettu Sarsono berteriak:” Bellanddaaaa……!!”. Rentetan berondongan senapan mesin pihak Belanda langsung menyalak. Para gerilyawan MA langsung tiarap dan berhasil menghindar serta menjauhi suara tembakan. Lettu Sarsono kemudian menghitung jumlah anak buahnya, semua selamat, Alhamdulillah…!.
Setibanya di Markas, anggota pasukan bertanya tanya, di mana Kadet Abdul Jalil? Barulah diketahui bahwa Kadet Abdul Jalil ikut dalam patroli dan gugur terkena berondongan senapan mesin Belanda. Ia Gugur sebagai Kusuma Bangsa. Abdul Jalil orangnya pendiam, berjiwa seni, dan senang menulis di Buku Hariannya. Alhasil, Buku Harian disakunya dirampas Belanda, dan dari sana pihak Belanda mengetahui posisi Markas Gerilya MA Yogya yang sudah lama mereka cari.
Gubernur MA, Kolonel GPH Jatikusumo, segera memindahkan Markas Gerilya dari Ngrangsang ke Gatak. Di Buku Harian Abdul Jalil ada pula tercatat markas gerilya MA sebelumnya yaitu di Kringinan, dan ex markas Kringinan pun segera dihujani tembakan oleh Pesawat P-51 Mustang Cocor Merah AU Belanda.
Pada Rabu Malam, 23 Februari 1949, Satuan Gerilyawan MA Yogya berkekuatan 1 Peleton Plus, bernama Peleton Z, bergerak ke wilayah Bogem, Prambanan untuk menyerang Pos Pos Belanda di sana. Pagi Harinya, Kamis 24 Februari 1949, para gerilyawan kembali ke Markas, namun sebelum kembali ke Markas, mereka sempat beristirahat di wilayah Dusun Plataran. Tidak disangka-sangka, ternyata Satu Kompi Tentara Belanda dari Batalyon 1, Resimen Infanteri 5 mengadakan Operasi Pembersihan di wilayah ini dan sesampainya di Dusun Gatak mulai menembaki rakyat. Belanda yang datang dari Gatak dan Dari Kaliwaru mengurung posisi gerilyawan MA. Pertempuran tidak seimbangpun pecah. Satu Peleton melawan Satu Kompi, berarti 1 lawan 3. Ditambah lagi, Belanda mengerahkan pesawat capung untuk melempari granat pada para gerilyawan di darat.
Perwira Remaja Lulusan MA-Yogya, Letda Utoyo Notodirjo, yang saat itu berada di Markas Gerilyawan MA, mendengar suara tembak menembak, segera menuju ke medan pertempuran. Letda Utoyo ini adalah Perwira Remaja pilihan, salah satu lulusan terbaik MA Yogya Angkatan-I. Ia bertugas di Markas Wehrkreise III langsung di bawah Komando Letkol Soeharto. Kebetulan malam itu ia mampir di Markas Gerilya MA dalam rangka persiapan Serangan Umum 1 Maret 1949. Letda Utoyo langsung terjun ke medan pertempuran guna mengatur gerak mundur pasukan MA. Ia melihat seorang taruna pembawa senapan mesin Bren yang terluka. Senapan Bren ia ambil alih dan terus maju menembaki tentara Belanda guna melindungi gerak mundur Pasukan MA. Akhirnya, Letda Utoyo gugur seketika ketika sebuah peluru Belanda menembus helm kepalanya.
Pertempuran Plataran berakhir dan memakan 8 Korban, Para Pahlawan Kusuma Bangsa, masing masing:
1. Letda Utoyo Notodirjo, Namanya diabadikan sebagai Nama Lapangan Halang Rintang di Akademi Militer (AKMIL) Magelang.
2. Letda Sukoco, Namanya diabadikan sebagai Nama Kolam Renang AKMIL di Pisangan.
3. Vaandrig Cadet Abdul Jalil, Namanya diabadikan sebagai Nama Museum AKMIL Magelang.
4. Vaandrig Cadet Suharsojo, Namanya diabadikan sebagai Nama Laboratorium Kimia di AKMIL Magelang.
5. Vaandrig Cadetg Subiyakto, Namanya diabadikan sebagai Nama Ruang Data di AKMIL Magelang.
6. Vaandrig Cadet Husein, Namanya diabadikan sebagai Nama Ruang Makan di Akmil Magelang.
7. Vaandrig Cadet Sarsanto, Namanya diabadikan sebagai Nama Lapangan Tembak AKMIL di Plempungan.
8. Tentara Pelajar Marwoto.
Pada Hari Pahlawan 10 November 1969, Presiden Soeharto, melalui Keputusan Presiden No.042/TK/Th.1969 menganugerahkan Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, kepada 27 Taruna dan Perwira Remaja MA-Yogya yang gugur dalam Perang Kemerdekaan I dan II, termasuk kepada 7 Perwira Remaja dan Taruna yang gugur dalam pertempuran Plataran.

“Oleh sebab itu, Para Perwira Remaja, Taruna MA Yogya, dan masyarakat Plataran, Desa Selomartani dan sekitarnya selamanya abadi dalam sejarah Indonesia. Merekalah yang saling bahu membahu, berdiri di garis depan mempertahankan setiap jengkal kemerdekaan Republik Indonesia. Kemanunggalan TNI-Rakyat seperti masa-masa gerilya itulah yang perlu terus dilestarikan, karena sesungguhnya TNI lahir dari Rakyat, hidup bersama rakyat, dan berjuang hanya untuk rakyat,” demikian disampaikan Anggota IKAM Yogya, Angelo Karma Yogi Soepardi, saat peringatan 76 Tahun Peristiwa Plataran (24/02/2025).
Peringatan 76 Tahun Pertempuran Plataran berlangsung khidmat. Acara diawali dengan Upacara Peringatan di Monumen Perjuangan Taruna yang dihadiri oleh Taruna AKMIL, IKAM Yogya, serta pelajar dan masyarakat Desa Selomartani. Upacara peringatan dipimpin oleh Gubernur AKMIL Magelang, Mayor Jenderal TNI Arnold Aristoteles Paplapna Ritiauw.
“Pertempuran Plataran adalah pertempuran yang sangat heroik dalam sejarah bangsa Indonesia setelah agresi militer Belanda. Dari gerilyawan kita, para pendahulu kita, telah mengajarkan taktik perang yang luar biasa, yang sekarang menjadi bahan ajar di TNI-AD, yaitu bagaimana taktik perang gerilya semesta yang berlarut menjadi kunci ketahanan bangsa kita. Ingat, bukan tidak mungkin taruna kita saat ini harus bertempur di masa depan. Dari peristiwa Plataran ini, kita belajar tentang patriotisme,” pungkas Gubernur Akmil dalam sambutannya.
Peringatan 76 Tahun Pertempuran Plataran kemudian dimeriahkan oleh atraksi Demo Pesawat Aerobatik, dengan Pilot Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto, gelaran kendaraan jeep-jeep militer antik dipimpin Kol AU Heri Heryadi dan sosio drama peristiwa Plataran oleh Komunitas Histori 24249. ***