Negara-negara ASEAN meluncurkan aksi iklim berbasis masyarakat untuk memperkuat upaya mitigasi dan adaptasi di kawasan Asia Tenggara.
Peluncuran ditandai dengan penyerahan dokumen ASEAN Community-based Climate Action (CBCA) dari Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi kepada Sekretariat ASEAN yang diwakili oleh Deputi Sekretaris Kementerian Sumber Daya Alam, Lingkungan, dan Keberlanjutan Malaysia Ahmad Farid Mohammad di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Senin, 18 November 2024.
Dokumen tersebut mulai dirancang saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN pada tahun 2023. Dokumen itu akan menjadi peta jalan untuk meningkatkan inisiatif aksi iklim berbasis masyarakat di negara-negara anggota ASEAN.
“ASEAN CBCA adalah tonggak penting memperkuat komitmen terpadu untuk memberdayakan masyarakat kita dalam mengatasi tantangan mendesak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Prakarsa ini, yang dipelopori oleh ASEAN dan mitra-mitranya, mencerminkan pemahaman bersama kita bahwa aksi iklim didorong oleh mereka yang paling terdampak yaitu masyarakat kita,” kata Laksmi.
Kawasan Asia Tenggara sejatinya sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena karakteristik geografis, ekonomi, dan sosialnya. Dampak itu seperti naiknya permukaan air laut yang mengancam penduduk pesisir hingga badai dan kekeringan yang lebih sering dan intens.
Tantangan perubahan iklim mempengaruhi setiap sektor dan aspek kehidupan di seluruh ASEAN. Studi menunjukkan bahwa tanpa tindakan tegas, kawasan ASEAN dapat menghadapi kerugian ekonomi hingga 35% dari PDB-nya pada tahun 2050, yang berdampak pada sektor-sektor seperti pertanian, pariwisata, dan perikanan.
Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wahyu Marjaka menjelaskan aksi iklim berbasis masyarakat mengacu pada inisiatif aksi atau program yang melibatkan masyarakat lokal dalam merencanakan dan melaksanakan strategi / pengurangan emisi gas rumah kaca, atau meningkatkan kapasitas mereka untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim dengan memanfaatkan pengetahuan, kapasitas, dan kebutuhan mereka.
“Pemerintah memainkan peran pendukung, tetapi kepemimpinan aksi dilaksanakan oleh masyarakat di lapangan,” kata Wahyu.
Untuk memastikan keberhasilan aksi iklim berbasis masyarakat, enam elemen inti telah diidentifikasi. Termasuk kebijakan yang kuat, pedoman yang jelas, mencakup daerah yang rentan, aksi yang dipersiapkan dengan baik, partisipasi pemangku kepentingan yang luas, dan sistem pemantauan dan evaluasi yang kuat.
Wahyu mengungkapkan banyak contoh aksi iklim berbasis masyarakat yang sudah dilaksanakan di ASEAN. Indonesia memiliki Program Komunitas Iklim (Proklim).
Proklim telah menjangkau 11.500 lokasi dan komunitas pada tahun 2024. Aksi-aksi iklim di Proklim juga teregistrasi pada Sistem Registri Nasional (SRN) dan akan diperhitungkan dalam pencapaian National Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Ahmad Farid Mohammad menjelaskan, Malaysia memiliki banyak program aksi iklim berbasis masyarakat seperti di Penang, wilayah yang rentan dengan bencana banjir.
Ada juga program yang dilaksanakan di satu desa di Kelantan, wilayah yang berbatasan dengan Thailand. Di sana, pemerintah Malaysia memfasilitasi penggunaan energi terbarukan di masjid dan mendorong masyarakat melakukan penghematan penggunaan air wudhu.
Ahmad mengatakan dokumen ASEAN CBCA yang berbahasa Inggris perlu diterjemahkan. “Dokumen perlu diterjemahkan ke bahasa-bahasa lokal masyarakat yang digunakan masyarakat,” katanya. ****