Pemerintah Indonesia merancang Sistem Informasi Geospasial yang kuat, akurat dan akuntabel untuk mendukung target-target pembangunan termasuk Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Herban Heryandana mengatakan Indonesia membangun sistem informasi geospasial dengan mengacu kepada Kerangka Kerja PBB UN IGIF.
Menurut Herban, sistem informasi geospasial yang kuat sangat penting untuk menjawab tantangan pembangunan. “Misalnya green and blue economy seperti Asta Cita Presiden Prabowo,” katanya saat memberi pidato kunci pada sesi diskusi panel bertajuk Advancing Geospatial Information for Enhancing Climate Action Strategies to Achieve Net Zero Emission di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Kamis, 14 November 2024.
Herban melanjutkan sistem informasi geospasial yang kuat juga sangat diperlukan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU). Indonesia mencanangkan FOLU Net Sink pada tahun 2030.
“Kita perlu membangun sistem monitoring dan reporting yang kuat untuk FOLU Net Sink dengan mengintegrasikan berbagai data informasi geospasial seperti citra satelit resolusi tinggi, data tutupan hutan, dan data deforestasi dan degradasi lahan,” katanya.
Terkait hal itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membangun SIGAP (Sistem Informasi Geospasial) KLHK, yang merupakan sistem penyelenggaraan informasi geospasial tematik, sekaligus sumber data untuk informasi kehutanan.
SIGAP mengelola 102 informasi geospasial tematik yang diperoleh dari berbagai sumber, dan dilengkapi perangkat keamanan dan kerahasiaan data. Selain itu, SIGAP merupakan open source yang aksesnya terbuka untuk masyarakat.
Sementara itu Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Prof. Muh Aris Marfai yang juga menyampaikan pidato kunci pada diskusi tersebut mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyediakan data informasi geospasial untuk mendukung perencanaan dan pembangunan, termasuk dalam aksi iklim.
“Untuk akurasi, Pemerintah sedang menyiapkan data informasi geospasial dasar pada peta dengan skala 1:5.000,” katanya.
Peta itu nantinya akan menjadi peta dasar dalam kebijakan Satu Peta. Implementasi kebijakan ini sangat penting dalam pengambilan kebijakan lintas sektor. Percepatan implementasi kebijakan Satu Peta Data menjadi mandat dari Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021.
“Dengan satu peta, maka kebijakan untuk banyak kepentingan dapat diputuskan dengan tepat,” katanya.
Muh Aris Marfai juga menambahkan bahwa kebijakan satu peta perlu didukung dan dilanjutkan dengan melibatkan peta-peta tematik lain dari kementerian dan lembaga, termasuk yg terkait mitigasi perubahan iklim, kebencanaan, dan program swasembada pangan.
Head of UNEP Climate Mitigation Unit Gabriel Labbate menekankan bahwa data yang akurat adalah pondasi bagi efektivitas pengelolaan hutan, perdagangan karbon, dan konservasi. “Data yang baik akan meningkatkan kredibilitas dari aksi iklim sektor kehutanan yang dilakukan.
Dia mengatakan, saat ini harga karbon hutan jatuh ke tingkat yang rendah. Salah satu penyebabnya adalah akuntabilitas data hutan yang rendah sehingga kredibilitasnya berkurang. “Padahal, hutan adalah sumber daya yang paling rentan dan membutuhkan dukungan pendanaan dalam aksi iklim,” katanya.
Gabriel mengingatkan tentang pentingnya penggunaan teknologi untuk meningkatkan kredibilitas data hutan, termasuk penggunaan Artificial Intelligence (AI). ***