Oleh : Ahmad Luthfi Syauqi, Mochammad Hilal Rizki, dan Waya Santika (Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM)
A. Stigma Pemanfaatan Produk Hasil Hutan
Semakin sering munculnya pemberitaan bahwa luasan hutan Indonesia yang terus berkurang memberikan stigma kepada masyarakat bahwa pemanfaatan hasil hutan belum terencana secara optimal. Salah satu pakar kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Mohammad Na’iem melalui di resmi UGM mengatakan bahwa pembangunan sektor kehutanan di Indonesia belum mampu untuk mengapresiasi pemanfaatan hutan tropis sehingga berdampak pada rendahnya nilai tambah dari produk kehutanan.
Pada dasarnya, sumber daya hutan memiliki peran dan fungsi strategis dalam pembangunan ekosistem, lingkungan maupun ekonomi. Keberlanjutan industri kehutanan tidak lepas dari faktor penting keberlanjutan pasokan kayu. Efisiensi proses produksi tidak hanya di hutan alam namun juga di kawasan hutan tanaman.
Akan tetapi, menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan dalam Siregar (2004), sejak tahun 2002 peran hutan tanaman di Indonesia relatif rendah. Hal tersebut yang hingga sekarang masih menjadi problem yang harus diselesaikan. Karena akan berdampak pada pasokan kayu dan juga sektor ekspor kayu di kancah internasional. Dampaknya bahkan sudah pernah dirasakan pada rentang tahun 1995 hingga 2002, penurunan pasokan kayu bulat mencapai angka 13,6 % (Siregar, 2004).
Ironisnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang mengartikan bahwa hutan adalah kawasan yang dimanfaatkan sebagai produksi kayu. Memang tidak salah ketika membicarakan hutan maka akan mengarah kepada bagaimana memanfaatkan hasil hutan kayu. Namun, dalam usaha untuk mewujudkan pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan dan berdaya saing, paradigma tersebut perlu dirubah. Sektor kehutanan tidak hanya sebagai penghasil kayu saja, namun juga dapat menghasilkan berbagai sumber daya non kayu.
B. Peluang Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu
Di Indonesia banyak organisasi yang bergerak di sektor kehutanan. Salah satunya yaitu Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Salah satu tujuan dari didirikannya APHI ini yaitu untuk meningkatkan nilai hutan dan mendorong terciptanya daya saing usaha dalam industri kehutanan. Penurunan produktivitas ekspor kayu tentunya menghambat tujuan tersebut. Data dari APHI dalam Benyamin et al. (2019) menunjukkan bahwa di tahun 2019 ekspor kayu olahan merosot hingga sekitar 4% dari hasil ekspor di tahun 2018. Hasil ekspor kayu merosot dari 12,13 miliar dolar AS menjadi 11,62 miliar dolar. Kemudian pada tahun 2020, ekspor kayu kembali mengalami penurunan menjadi 11,1 miliar dolar.
Tidak hanya itu, Direktur Eksekutif APHI menuturkan bahwa produksi kayu bulat pada 3 bulan pertama tahun 2019 menurun dari 11,75 juta m3 di tahun 2018 menjadi 10,15 juta m3.
Secara kumulatif ekspor kayu Indonesia mengalami fluktuasi. Penurunan yang tajam terjadi pada periode tertentu. Pada tahun 2018 – 2020 selalu terjadi periode penurunan ekspor kayu. Penurunan nilai ekspor kayu akan mempengaruhi akumulasi total nilai ekspor kayu tiap tahunnya. Hal ini yang dapat menghambat usaha APHI sebagai asosiasi yang bergerak di sektor kehutanan dalam meningkatkan nilai produk industri kehutanan.
Namun dibalik merosotnya nilai ekspor kayu baik kayu bulat dan olahan, ada satu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh APHI, yaitu meningkatnya permintaan rempah di pasar internasional. Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa ekspor rempah Indonesia meningkat sejak tahun 2019 sebesar 19,28%. Menurut Nurhayati et al. (2010), Indonesia sebagai salah satu eksportir utama komoditas rempah seperti pala, lawang, dan kapulaga tercatat di tahun 2016 berkontribusi mengekspor sebanyak 19.956.650 kg atau mencapai 23,70% dari total ekspor rempah di dunia. Jika mundur beberapa tahun sebelumnya, dari tahun 2006 – 2015 angka ekspor ketiga rempah tersebut mencapai 12,15-32,38 % dari total ekspor rempah Indonesia dengan rata-rata 22,15% dari pasar dunia. Artinya, ada peningkatan permintaan ekspor rempah dunia terhadap Indonesia. Peningkatan nilai ekspor rempah dan tingginya peluang ekspor rempah Indonesia ini dapat menjadi inovasi bagi APHI sebagai jalan tengah untuk kembali meningkatkan nilai produksi hasil hutan.
C. Peluang Pemanfaatan Kapulaga Melalui Skema Agroforestri sebagai Potensi Multiusaha
Upaya dalam meningkatkan nilai produksi hasil hutan non kayu, dapat dilakukan dengan skema agroforestri. Skema agroforestri sebagai upaya untuk meningkatkan nilai ekspor sebenarnya memiliki banyak pilihan untuk dikembangkan, salah satu yang berpotensi tinggi yaitu kapulaga. Tumbuhan endemik Indonesia ini merupakan rempah termahal ketiga di dunia. Permintaan ekspor kapulaga di pasar dunia terus meningkat semenjak krisis ekonomi di tahun 2011-2013. Produksi kapulaga dunia mencapai 70.000 juta ton dan nilai perdagangannya di tahun 2015 mencapai 51,76 juta ton. Harganya pun tinggi yaitu sekitar Rp45.000/kg di dalam negeri dan Rp400.000/kg di luar negeri (Hani et al., 2021).
Banyak negara pesaing seperti Guatemala, India, Nepal dan Singapura yang sedang mengembangkan pula komoditas kapulaga ini. Jika dilihat Indonesia berada di peringkat dua setelah Guatemala dalam hal ekspor kapulaga dunia. Indonesia masih tertinggal jauh dari Guatemala yang menguasai 50% ekspor kapulaga di pasar dunia (Hani et al., 2021).
Luas panen kapulaga dari tahun 2014 hingga 2018 terus mengalami penurunan dari 4,23 ribu hektar menjadi 1,15 ribu hektar. Hal tersebut dikarenakan adanya konversi lahan kapulaga menjadi peruntukan lainnya. Dilain sisi, produksi kapulaga selama lima tahun terakhir menunjukkan nilai yang relatif dinamis dengan tren yang naik-turun. Produksi kapulaga sendiri selain dipengaruhi oleh luas lahan namun juga produktivitas per satuan luasan. Produktivitas kapulaga setiap tahun relatif meningkat sehingga perlunya perluasan lahan untuk tanaman kapulaga untuk meningkatkan produksi kapulaga (Hani et al., 2021).
Faktanya, di Indonesia pengembangan jenis kapulaga ini masih terpusat di Pulau Jawa. Di daerah luar Jawa produksi komoditas kapulaga ini masih rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, menunjukkan bahwa hampir semua provinsi di luar Pulau Jawa rata – rata produksi kapulaganya masih berada dibawah angka 100.000 kg. Tercatat hanya Provinsi Sumatera Barat yang mencapai angka 6.504.791 kg. Jika dibandingkan dengan provinsi di Pulau Jawa yang memiliki produksi kapulaga cukup tinggi seperti Jawa Tengah mencapai 25035.781 kg, Jawa Barat 58.246.793 kg, Jawa Timur 3.993.998 kg, dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 468.000 kg. Padahal tanaman ini selain nilai ekspor tinggi juga memiliki siklus panen yang singkat. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, tanaman ini dapat dipanen hingga 4 kali dalam setahun. Tanaman ini juga cocok bila dikembangkan dengan skema agroforestri dibawah naungan tanaman kayu. Sifat kapulaga yang multifungsi sebagai tanaman rempah, obat maupun bahan kosmetik menjadikan tanaman ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Fachriyah dan Sumadri, 2007).
Besarnya permintaan dunia terhadap komoditas kapulaga dan masih rendahnya produksi kapulaga di luar Pulau Jawa menjadi peluang bagi APHI sebagai sarana multi usaha dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Terdapat momentum pasar yang
juga baik, mengingat pada masa pandemi Covid-19, kebutuhan rempah sebagai peningkat daya tahan tubuh sangat tinggi. Hal tersebut memberikan tantangan disamping meningkatkan hasil hutan kayu, perlu untuk mengembangkan pula komoditas non kayu. Skema agroforestri tanaman kapulaga dapat menjadi jalan tengah dalam usaha meningkatkan nilai ekonomi hasil hutan. Potensi pasar dunia terhadap komoditas rempah terutama di kondisi pandemi ini memberikan peluang bagi Indonesia dan APHI untuk mengembangkan jenis kapulaga sebagai komoditas ekspor rempah unggulan. Disamping nilai ekspor kapulaga yang tinggi dengan siklus panen yang singkat, perlu adanya integrasi yang kuat antara pemerintah, pengusaha dan juga masyarakat. Sehingga kombinasi antara tanaman kayu dengan jenis rempah dapat menjadi alternatif dalam pengembangan dan pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan, khususnya dalam mendukung multiusaha kehutanan yang berdaya saing tidak hanya di wilayah Jawa namun juga di luar Jawa.
D. Konsep Agroforestri Integratif Kapulaga
Konsep agroforestri memadukan antara tumbuhan hutan dan tanaman pertanian dengan harapan terjadi keseimbangan antara tujuan ekonomi, ekologi dan sosial. Kapulaga merupakan salah satu rempah yang berkontribusi dalam peningkatan nilai ekspor rempah sampai 22,15% sejak tahun 2006 sampai 2015 (Nurhayati et al, 2019). Penanaman kapulaga dalam sektor pertanian tidak cukup untuk meningkatkan produksi kapulaga sehingga diperlukan alternatif lain guna meningkatkan produktivitas kapulaga. Kapulaga merupakan salah satu tanaman bawah yang dapat dikembangkan dengan sistem agroforestri dan mampu tumbuh optimal di bawah tegakan pohon dengan kerapatan sedang sekitar 40% (Wibowo, 2020). Hal ini dapat diterapkan pada hutan tanaman yang lantai bawah tegakan yang tidak dipergunakan secara optimal. Dalam implementasinya diperlukan 2 faktor penting yang harus diperhatikan yaitu kesesuaian tegakan dan lahan. Kapulaga sendiri berdasarkan dari beberapa literatur dapat dikombinasikan dengan tegakan Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti Sengon, Acacia mangium dan Eucalyptus karena tidak bersifat alelopati terhadap kapulaga (Sudomo dan Handayani, 2013).
Skema manajemen pengelolaan agroforestri kapulaga dibawah tegakan hutan tanaman industri dikombinasikan dengan sosial masyarakat setempat, skema yang dapat digunakan adalah nested management seperti penelitian yang dilakukan oleh Jelsma et al (2017), pada kelompok masyarakat pengelola sawit di Ophir, Sumatera Barat yang terbukti berhasil. Skema tersebut terbagi:
• Level keluarga petani. Pada level ini setiap keluarga yang terdiri dari suami istri diberi lahan kelola sekitar 2 ha, dan keluarga tersebut bertanggungjawab dari aspek penanaman hingga pemanenan, begitupun dengan monitoring.
• Level kelompok, pada level ini setiap kelompok terdiri dari 25 keluarga, sehingga setiap kelompok mengelola sekitar 50 ha lahan hutan agroforestri, setiap kelompok mempunyai koordinator yang nantinya berfungsi menjadi perwakilan pada level diatasnya.
• Level koperasi, level ini terdiri dari sekitar 20 kelompok, dan mempunyai kisaran lahan pengelolaan sekitar 1000 ha. Pada manajemen koperasi terdiri dari ketua, dan koordinator pada bidang; perawatan sumberdaya manusia, monitoring kualitas komoditas kapulaga dan koordinator keuangan. Setiap koperasi mempunyai koordinator pada level selanjutnya.
• Level supra koperasi, terdiri dari sekitar lima koperasi, pada level ini pihak manajemen HTI bisa mengambil alih, sub manajemen pengelolaan agroforestri bisa dibentuk dari perusahaan, pada level ini setiap perwakilan koperasi akan berkoordinasi mengenai progres kegiatan dilapangan, dan mempunyai tanggung jawab dalam menghubungkan dengan pasar, perawatan area lahan yang sifatnya masif serta bertanggungjawab mengelola prinsip bagi hasil dengan kelompok masyarakat.
Sistem manajemen tersebut dapat dikembangkan di wilayah kerja APHI dengan kriteria yang memadai, seperti terdapat interaksi dengan masyarakat, tegakan hutan industri sesuai jika dipadukan dengan kapulaga seperti rekomendasi yang telah ditulis. Sebagai langkah taktis, perlu dilakukan tindakan di lapangan seperti menganalisis kesesuaian lahan terhadap komoditas kapulaga, kemudian dipetakkan lahan – lahan potensial tersebut, dan selanjutnya dilakukan pendekatan kepada masyarakat sebagai calon penggarap lahan bawah tegakan. Manfaat lain yang diperoleh dengan skema ini adalah berkurangnya angka pengangguran dan harapannya APHI mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
E. Analisis SWOT Konsep Agroforestri Integratif Kapulaga
Analisis SWOT adalah proses identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi organisasi/lembaga/institusi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
Berdasarkan analisis SWOT, budidaya kapulaga yang diintegrasikan dengan tanaman kehutanan dapat dilakukan dengan strategi pengaplikasian yang tepat. Tantangan yang harus dihadapi yaitu bagaimana menghasilkan kapulaga yang berkualitas unggul sehingga diminati di pasar lokal maupun internasional serta bagaimana pelaksanaan pengelolaan kapulaga baik mulai dari penyediaan tapak, analisis naungan yang sesuai, penyediaan alat, perlakuan silvikultur, hingga pengolahan dan pemasarannya. Penyediaan alat dan sumber daya manusia yang mumpuni tentunya akan mempengaruhi hasil produksi kapulaga. APHI dapat mengajak masyarakat sebagai penggarap lahan dibawah tegakan.
Dalam menentukan sumberdaya manusia untuk terlibat dalam menggarap lahan tersebut dapat mengadopsi metode Participatory Action Research (PAR). Ada 3 pilar utama metode ini meliputi riset, aksi dan partisipasi. Prinsip metode ini yaitu mengajak masyarakat untuk terlibat secara langsung dengan menggali informasi terkait kondisi masyarakat, yang kemudian melakukan aksi sebagai solusi dalam menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni. Dengan masyarakat yang ikut terlibat dalam membangun rancangan dan implementasi aksi mengacu pada dasar yang digunakan yaitu kebutuhan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang unggul (Sari et al, 2021).
Pemaksimalan kelompok dalam masyarakat dapat dilakukan seperti pembentukan kelompok tani yang dikhususkan sebagai penggarap tanaman kapulaga. Pihak APHI sebagai pengelola utama perlu menyiapkan bekal bagi masyarakat calon penggarap. Bentuknya dapat berbagai macam meliputi pelatihan persiapan lahan, penanaman kapulaga hingga nantinya pengolahan dan pemasarannya. Pendampingan, evaluasi hingga monitoring berkala tiap 3 bulan perlu dilakukan (minimal tiap 1 kali siklus panen). Harapannya terjadi hubungan timbal balik yang positif dan menciptakan integrasi kuat antara APHI dengan masyarakat. Masyarakat mendapatkan lahan pekerjaan dan pemasukan pendapatan, sedangkan APHI dapat memanfaatkan lahan dibawah tegakan serta meningkatkan produksi hasil hutan, tidak hanya kayu namun juga non kayu. Sistem manajemen seperti yang dijelaskan sebelumnya dapat terlaksana dengan baik jika interaksi antara masyarakat dan APHI berjalan baik. Mulai dari penyiapan dan pemetaan lahan yang digunakan, batas penggunaan lahan, kesepakatan pemanfaatan lahan, aturan – aturan yang berlaku hingga sistem bagi hasil yang diterapkan.
F. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis pembahasan mengenai peluang multiusaha pada area Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia maka dapat disimpulkan bahwa, kapulaga sebagai komoditas yang mempunyai potensi pasar dan ekonomi tinggi mempunyai peluang untuk dikembangkan. Disisi lain konsep agroforestri integratif berpeluang meningkatkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu pengembangan kapulaga sebagai salah satu komoditas multiusaha penunjang nilai ekonomi untuk peningkatan ekspor di sektor kehutanan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar diketahui kesesuaian antara tapak perusahaan yang dinaungi oleh APHI dengan tempat tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan kapulaga sehingga dapat menghasilkan kapulaga yang baik dan memiliki nilai jual yang tinggi. ***