Menteri-menteri Kehutanan dari sejumlah Negara membahas tentang pentingnya pembiayaan berkelanjutan untuk mencegah deforestasi, degradasi hutan, dan mempromosikan pengelolaan hutan lestari.
Indonesia menjadi sorotan dalam pembahasan tersebut karena telah mengembangkan Nilai Ekonomi Karbon (carbon pricing) yang dinilai bisa menjadi solusi untuk pembiayaan berkelanjutan di sektor kehutanan.
Pembahasan itu dilakukan di pertemuan tingkat menteri untuk pembiayaan sektor kehutanan pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-15 di Seoul, Republik Korea, Rabu 3 Mei 2022.
Pada pertemuan tersebut sejumlah Menteri yang berwenang di sektor kehutanan dari berbagai Negara hadir, diantaranya dari Republik Kongo, Republik Korea, Ekuador, Kolombia, Gabon, dan Inggris. Pertemuan itu juga diikuti oleh Delegasi Indonesia.
Deputy Dirjen FAO Maria Helena Semedo menyatakan setelah pandemi Covid-19 dan konflik, dunia akan menuju ke pemulihan. Menurut dia, pemulihan yang dituju mencakup di bidang kesehatan, penyediaan pangan yang berkelanjutan, mampu menjawab krisis perubahan iklim, sekaligus mempertahankan keanekaragaman hayati.
“Hutan bisa menjawab tantangan pemulihan itu,” kata Semedo.
Dia mengungkapkan, saat ini sekitar 1/2 dari PDB global terkait dengan hutan dan jasa lingkungan yang disediakannya. Persoalannya, lanjut dia, luas hutan terus mengalami penurunan.
“Secara global luas hutan mengalami penurunan hingga 10 juta hektare per tahun,” katanya.
Untuk itu, lanjut dia, upaya untuk konservasi, restorasi, dan pengelolaan hutan berkelanjutan harus didorong. Investasi dan pembiayaan berkelanjutan untuk mendukung kegiatan tersebut juga harus ditingkatkan.
Menurut Semedo, dunia butuh pembiayaan yang nilainya 3 kali lipat dari saat ini untuk menahan degradasi hutan yang terjadi. Dari sisi kebijakan, Semedo juga berharap setiap negara memasukkan hutan dan jasa lingkungan yang bisa diberikannya dalam perhitungan PDB dan kebijakan finansialnya.
Sementara itu Direktur Global Green Growth Institute Frank Rijsberman mengungkapkan, ada beberapa skema pembiayaan berkelanjutan yang kini umum dimanfaatkan. Diantaranya adalah green bond, Debt for Nature Swap, dan Payment for Enviromental Services.
Kini, lanjut Rijsman, dengan telah sepakatinya Artikel 6 Persetujuan Paris, pasar karbon akan lebih terbuka untuk mendapat pembiayaan berkelanjutan dalam pengelolaan hutan.
“Sayangnya banyak negara yang belum siap karena belum memiliki infrastruktur perdagangan karbon yang baik,” katanya.
Untuk itu, lanjut dia, setiap Negara mesti memperkuat kapasitasnya dalam berbagai aspek misalnya soal instrumen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) dan akuntabilitasnya.
Rijsman kemudian menyinggung Indonesia yang dinilainya berada di garis depan untuk mempersiapkan pasar karbon.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Saat ini aturan pelaksanaannya sedang dalam finalisasi dan diharapakan akan terbit dalam waktu dekat. ***