Kamis, 21 November 2024

Teknologi Remote Sensing untuk Eksplorasi Sumber Daya Alam, Profesor Indroyono Soesilo: Dasar Pengambilan Kebijakan

Latest

- Advertisement -spot_img

Dalam kegiatan eksplorasi geologi, data awal hasil remote sensing, atau penginderaan jauh diolah sebagai informasi untuk kemudian dianalisis serta diinterpretasikan guna dipakai untuk pengambilkan kebijakan tentang tahapan eksplorasi berikutnya.  Data penginderaan jauh diperoleh dari sensor yang dijejalkan pada satelit, pesawat udara dan pada pesawat nir-awak atau drone. 

Demikian pandangan Prof. Dr.Indroyono Soesilo saat memberikan kuliah umum tentang Teknologi Remote Sensing Untuk Eksplorasi, Inventarisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Indonesia, di Jurusan Teknik Geologi ITB, Bandung, Jumat, 1 Maret, 2024.

Dihadapan sekitar sekitar 120 peserta dan mahasiswa ITB, baik secara langsung maupun secara daring, Indroyono juga memaparkan tahapan membangun Industri Jasa Penginderaan Jauh di Tanah Air sejak 30 tahun terakhir.

Satelit Remote Sensing yang pertama di Dunia, bernama Landsat-I, diluncurkan oleh Badan Antariksa dan Penerbangan AS, NASA pada tahun 1972.  Dua ahli dari Indonesia, yaitu Professor JA Katili dan Professor Jacub Rais diundang NASA sebagai Principal Investigator Landsat-1 untuk wilayah Asia Tenggara.

_________

Professor Katili memanfaatkan data Landsat-1 hasil rekaman Sensor Multi-Spectral Scanner (MSS) digital untuk kegiatan eksplorasi geologi di Indonesia.  Inilah kali pertama Indonesia memasuki era satelit, disusul dengan peluncuran satelit komunikasi domestik Palapa-1 pada tahun 1976. 

Ahli-ahli remote sensing generasi berikutnya disiapkan pada awal dekade 1980-an, ke AS dan Perancis, yang kala itu sudah meluncurkan satelit satelit Landsat, Satelit SPOT, Satelit NOAA serta penerapan pesawat space shuttle untuk menghimpun data remote sensing dari ruang angkasa.

Indroyono, yang Alumnus Teknik Geologi ITB 1978 itu, memaparkan bahwa pengiriman ahli-ahli Indonesia tadi, antara lain ke NASA, ke CNES-Perancis, ke European Space Agency di Frascati, Italia, maupun ke Radarsat di Canada adalah dalam rangka membangun industri jasa remote sensing menerapkan falsafah” Berawal di Hilir, Berakhir di Hulu” yang dicetuskan Professor BJ Habibie dalam membangun suatu industri bebasis teknologi. 

Sekembali para ahli muda Indonesia ke tanah air, mereka membangun industri ini dari “hilir” dengan mengembangkan beragam aplikasi teknologi remote sensing untuk eksplorasi geologi, kehutanan, kelautan, pertanian, perencanaan wilayah dan kota, pemetaan sumberdaya alam serta untuk penanggulang bencana. 

Daftar Proyek Proyek “Blue Book” Bappenas disisir satu persatu  guna diinventarisasi proyek proyek mana yang bisa menggunakan teknologi remote sensing.  Lalu sebuah perangkat lunak pengolahan citra digital satelit, diberi nama CITRA 88, dibangun oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan disebarkan kepada para calon pengguna secara gratis.  Alhasil, dalam tempo 4 tahun, jumlah pengguna data remote sensing semakin banyak dan pasar industri jasa ini mulai terbentuk. 

Kebijakan selanjutnya diarahkan ke “hulu” dengan membangun Stasiun Bumi Satelit Remote Sensing di Parepare, Sulawesi Selatan, yang mulai beroperasi pada tahun 1994. Data satelit Landsat, SPOT, Radarsat dan NOAA sudah bisa diterima langsung oleh Stasiun Bumi Parepare. 

Di samping itu, pengembangan pasar pengguna data remote sensing terus di gencarkan, berbagai uji-coba teknologi berikut aplikasinya terus dilaksanakan, termasuk penggunaan data satelit radar interferommetry untuk memprediksi erupsi gunung berapi, serta memantau pergerakan sesar/patahan dalam hitungan milimeter per tahun.  

Bencana El Nino yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan hebat tahun 1997 di Tanah Air, membuka pasar aplikasi remote sensing lebih luas lagi, termasuk interpretasi “Hot Spot” dari data satelit NOAA tentang posisi lintang-bujur hutan yang terbakar, serta upaya pemadaman kebakaran hutan dengan teknologi modifikasi cuaca serta pemboman air dari udara.  Istilah “Hot Spot” sekarang sudah memasyarakat.  Juga uji coba teknologi Light Detection & ranging (LIDAR) serta Laser Airborne Depth Sounder (LADS) untuk pembuatan peta batimetri dasar laut sudah dilaksanakan para ahli BPPT di wilayah perairan Pulau Enggano, Sumatera Bagian Selatan pada tahun 1994. 

Tahapan terakhir dari upaya pengembangan “Hulu” adalah membangun satelit remote sensing sendiri, dan ini berhasil diluncurkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada tahun 2007.  Saat ini telah beroperasi 4 satelit remote sensing buatan LAPAN, dan diharapkan satelit ke 5 akan meluncur pada tahun 2024 ini.

Indroyono juga menjelaskan bahwa pasar untuk pengembangkan suatu industri berbasis teknologi perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan.  Pasca Reformasi 1998, beragam undang-undang dan Peraturan Pemerintah telah terbit agar penggunaan data satelit remote sensing dapat lebih memasyarakat, diantaranya UU No.21 tahun 2013 Tentang Keantariksaan, UU No.4 tahun 2011 tentang Geospasial, serta UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.  Kesemuannya memasukan remote sensing dan Sistem Informasi Geografis didalamnya.  Belum lagi beragam Peraturan Presiden, Instruksi Presiden serta Peraturan Menteri yang mengatur beragam penggunaan data remote sensing, sekarang sudah tersedia.

Dengan semakin gencarkan permasalahan perubahan iklim Dunia, perlu dilaksanakan aksi mitigasi termasuk transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan guna menurunkan emisi gas rumah kaca semaksimal mungkin. 

Indroyono menyodorkan peran ahli geologi dan eksplorasi untuk menerapkan teknologi remote sensing ini untuk mencari dan menemukan potensi gas hidrogen alam (Natural Hydrogen) di wilayah Nusantara, yang sampai saat ini belum pernah dieksplorasi oleh ahli ahli kita.   

Terakhir, mantan Menko Kemaritiman RI 2014-2015 ini juga mengharapkan kiranya para geologiwan dan explorationists Indonesia masa depan terus bergerak menerapkan dan mengembangkan industri 4.0, yaitu industri digital, yang telah Indroyono kerjakan sejak dekade 1980-an lalu, mengingat industri 4.0 amatlah penting. Bahkan sekarang Dunia sudah bergerak ke Society 5.0 yang merupakan imagination Society, yang lebih mengedepankan kreativitas.  Sejatinya, sejak awal para ahli geologi itu dilatih untuk menganalisis, menginterpretasikan dan membuat beragam imajinasi tentang mulajadi Bumi kita ini. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles