Oleh: Indroyono Soesilo (Menko Kemaritiman RI, 2014-2015, Profesor Riset BPPT, 1995-2021)
Pagi itu, 10 Agustus 1995, angkasa kota Bandung menjadi saksi sejarah sukses terbang perdana pesawat penumpang hasil rancang-bangun anak bangsa dengan teknologi avionik mutakhir pada jamannya, “fly by wire”, yaitu pesawat N-250 PA-1 Gatotkoco, menempatkan Indonesia di dalam segelintir negara di Dunia yang mampu merancang-bangun produk teknologi tinggi secara mandiri. Upaya kerja keras selama 20 tahun membuahkan hasil dan 10 Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).
Melalui filosofi ”Berawal di Akhir, Berakhir di Awal”atau “Reverse Engineering”, pengembangan iptek dan inovasi Nasional dipacu. Filosofi ini, yang diarsiteki BJ Habibie, dan dijabarkan dalam empat tahapan transformasi teknologi dapat diterapkan di berbagai jenis industri di Indonesia, dengan sasaran memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu dan membuka lapangan kerja, baru kemudian diekspor.
Latar belakang Habibie sebagai seorang Insinyur tentu perlu pembuktian nyata. Disinilah kemudian, konsep di atas direalisasikan pada pembangunan industri pesawat terbang di tanah air, sebuah industri yang amat ia kuasai dan diharapkan dapat direplikasikan pada industri-industri lain di dalam negeri.
Transformasi teknologi tahap I mencakup pembuatan pesawat terbang secara perakitan melalui lisensi dan menghasilkan pesawat angkut CN-212 Aviocar dan helikopter NBO-105 Bolkow. Pada tahapan ini, para insinyur dan teknisi domestik sudah mulai menguasai teknologi pesawat terbang dan telah mendapatkan penghasilkan lewat akumulasi jam kerja.
Kemudian, transformasi teknologi tahap ke-II dimulai dengan memberikan nilai tambah dan menjejalkan kandungan lokal pada produk-produk teknologi yang dibuat, serta meningkatkan jumlah jam kerja domestik pada setiap produk yang dihasilkan. Munculah pesawat CN-235 Tetuko dan Indonesia juga mulai mampu membuat helikopter ukuran lebih besar jenis NAS-332 Super Puma. Produk teknologi tahap I dan tahap II juga sudah bergerak memasuki pasar, baik domestik maupun ekspor.
Transformasi teknologi tahap III diarahkan pada pembuatan produk industri dengan proses rancang-bangun penuh dilaksanakan oleh para insinyur dan teknisi dalam negeri secara mandiri. Lewat integrasi sistem dan rancang-bangun teknologi mutakhir tadi maka muncullah pesawat N-250 Gatotkoco, yang merupakan pesawat komuter paling canggih dikelasnya pada saat itu, termasuk sistem kendali “fly by wire”, yang kala itu hanya diterapkan pada pesawat-pesawat penumpang bermesin jet.
Transformasi teknologi tahap IV segera dimulai. Di sini, berbagai riset dasar dan riset terapan digairahkan guna menghasilkan produk-produk baru yang lebih unggul, dengan teknologi lebih maju dan membuka lapangan kerja lebih banyak. Di industri pesawat terbang, transformasi teknologi tahap IV akan diwujudkan pada produk pesawat N-2130.
Sayang, krisis multi-dimensi yang berujung pada Reformasi 1998 terjadi di Indonesia. Proyek pesawat N-250 Gatotkoco, yang segera memasuki tahapan produksi, harus dihentikan sesuai bunyi Letter of Intent yang ditandatangani Indonesia – International Monetary Fund (IMF). Proses transformasi teknologi terhenti dan para insinyur penerbangan Indonesia, yang sudah sangat mumpuni tadi, harus mencari kerja di industri-industri penerbangan Perancis, AS, Canada dan Brasil. “Brain Drain” telah terjadi.
Lalu, bagaimana kedepannya? Indonesia diproyeksikan menjadi negara maju saat HUT RI ke-100, 17 Agustus 2045 mendatang dan masuk 5 besar kekuatan ekonomi Dunia. Konsultan Mckinsey (2012) memproyeksikan Indonesia akan melompat dari kekuatan ekonomi Dunia No.16 saat ini menjadi kekuatan ekonomi Dunia No.7 pada tahun 2030, asalkan memiliki prasyarat tersedianya sumberdaya manusia mumpuni dan golongan menengah sebanyak 135 juta orang. Kita harus naik kelas menjadi Negara Berpenghasilan Tinggi (High Income Country) .
Kita tidak mau terjebak ke dalam ”The Middle Income Trap” atau ”Jebakan Negara Berpenghasilan Menengah” yang pertumbuhan ekonominya sekedarnya saja namun pertumbuhan ekonomi tadi langsung diserap kembali kedalam konsumsi ekonomi dalam negeri. Tidak cukup tersedia sumberdaya untuk berinvestasi guna melompat menuju kelompok negara berpenghasilan ekonomi tinggi.
”Engineers and Innovators Create Wealths”. Disinilah peran para insinyur, perekayasa dan inovator untuk memunculkan karya-karya monumental. Kehadiran pesawat N-250 Gatotkoco membuktikan bahwa kita bisa. Di semua jenis pembangunan harus terus memperhatikan prosentase kandungan lokal (local content), baik pada tahap studi kelayakan, tahap desain rekayasa rinci, tahap pengadaan komponen-komponennya hingga tahapan konstruksi (Engineering – Procurment – Construction, EPC). Semaksimal mungkin, kemampuan dalam negeri harus dimobilisasi.
Tentu, dibutuhkan keberpihakan dan perlindungan dari Pemerintah. Jangan sampai seluruh kegiatan diserahkan kepada konsultan asing hanya karena anggaran proyeknya datang dari hutang luar negeri. Harus ada insentif untuk perekayasa, peneliti dan pelaku iptek di tanah air.
Bagi para perekayasa dan para inovator, jangan menyerah. Produk-produk iptek dan inovasi sangat dibutuhkan masyarakat luas. Perlu pendekatan lebih kreatif, antara lain memasarkan produk-produk tadi melalui e-catalog LKPP yang sudah pasti dapat diserap oleh berbagai lembaga pemerintah baik di pusat maupun daerah serta BUMN, tanpa tender. Perlu dibuat beragam kerjasama dengan pemerintah Desa dan dibentuk Badan-Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar penyaluran dana Pemerintah ke Desa-Desa dapat bermanfaat dan berhasil guna dengan dukungan iptek dan inovasi. Inilah medan pengabdian para ilmuwan, perekayasa dan inovator untuk membangun negeri dengan mental dan semangat pejuang, seperti yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita melalui karya-karya nyata mereka, termasuk membangun pesawat terbang N-250 Gatotkoco secara mandiri.***