Indonesia sedang mengembangkan metodologi pengukuran emisi karbon di lahan gambut yang lebih akurat dan akuntabel dengan metodologi yang memperhitungkan tinggi muka air tanah.
Sekretaris Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan Nety Widayati menjelaskan gambut merupakan sumber daya alam yang penting dan merupakan tanggung jawab bersama.
“Dengan berinvestasi dalam pendekatan yang kuat dan inovatif terhadap pengukuran dan pengelolaan Gas Rumah kaca (GRK) gambut, kita membuat langkah maju menuju ketahanan iklim dan pengelolaan lingkungan,” kata dia saat sesi diskusi panel bertajuk “Enhancing Peatland Conservation: Advancements in Carbon Measurement through Peat Ground Water Level Management” di Paviliun Indonesia pada Konferensi perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Selasa, 19 November 2024.
Dalam pengendalian perubahan iklim, Indonesia target pengurangan emisi GRK yang ambisius dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yaitu sebesar 834 juta tons setara karbondioksida (CO2e) tanpa syarat (CM1) dan 1.081 juta ton CO2e dengan dukungan dari internasional (CM2).
Salah satu komponen penting dalam pencapaian NDC tersebut adalah pengelolaan gambut berkelanjutan, dimana pengaturan tinggi muka air tanah memainkan peran penting.
“Dengan menjaga tinggi muka air tanah pada titik optimal, maka kita mencegah oksidasi gambut, mengurangi emisi karbon, demi mempertahankan sumber daya yang sangat berharga ini,” kata Nety.
Dia mengundang semua pihak untuk berpartisipasi dalam pengembangan metodologi penghitungan pengukuran karbon berbasis tinggi muka air.
Nety juga menyebut peran penting sektor swasta untuk membangun sistem data yang terintegrasi untuk memperkuat monitoring.
Direktur Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut KLHK M. Noor Andi Kusumah menjelaskan pengendalian tinggi muka air tanah gambut menjadi salah satu kunci pencegahan kebakaran hutan dan lahan dan lepasnya emisi karbon.
“Sesuai regulasi, kami meminta kepada pengelola lahan konsesi dan pihak swasta perkebunan sawit dan kehutanan untuk menjaga tinggi muka air tanah paling rendah 0,4 meter dari permukaan,” ujar Andi Kusumah.
Untuk memastikan kepatuhan, Pemerintah Indonesia telah memiliki hampir 11 ribu unit alat pemantau yang mencakup area gambut seluas 4,1 juta hektare. Sampai dengan Oktober 2024, terdapat 332 perusahaan yang area operasinya diawasi tingkat muka air tanahnya sebagai bagian dari upaya merestorasi gambut.
Dia menjelaskan pengawasan tinggi muka air tanah itu karena berdasarkan studi yang sudah dilakukan memperlihatkan korelasi dengan turunnya muka air tanah dan kemunculan titik panas (hotspot) sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan.
Untuk itu, pemerintah menetapkan kriteria minimal tinggi muka air tanah 0,4 meter di bawah permukaan lahan gambut untuk mencegah kebakaran lahan.
Sementara itu Deputy Divisional Manager Forest Carbon Sink Business Department Environment And Resources Division Sumitomo Forestry Tsuyoshi Kato menjelaskan, pihaknya sukses menerapkan pengelolaan gambut di Kalimantan Barat.
Di areal tersebut, dilakukan reforestasi, pengendalian kebakaran melalui tata kelola air, dan konservasi keanekaragaman hayati yang berdampak pada pengurangan emisi karbon.
“Dampak dari kegiatan tersebut adalah adanya integrasi kelayakan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” katanya.
Lebih lanjut Kato mengatakan, berbekal kesuksesan di Kalimantan barat, Sumitomo Forestry berencana untuk melaksanakan pilot project untuk restorasi gambut di eks Mega Proyek Lahan Padi Sejuta Hektare di Kalimantan Tengah.
“Restorasi lahan eks PLG penting untuk mencegah asap kebakaran membumbung hingga IKN Nusantara,” kata Kato. ***